MAKALAH
METODOLOGI
STUDI ISLAM
FENOMENA AGAMA
dalam KEHIDUPAN MASYARAKAT
Disusun Oleh :
Deby Putri Rahmawati
Dosen
Pembimbing : Dra. Siti Nurjanah, M. Ag
MATA KULIAH METODOLOGI
STUDI ISLAM
Program Studi III
Perbankan Syari’ah/1/C
STAIN Jurai
Siwo Metro
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
Fenomena agama
adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan
kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep
tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan
makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam
masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan
menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat,
maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai
salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan
sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu
faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat
menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan
bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan
gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di
sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat
dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan
lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat
sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan
Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi
kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama
dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi
karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original.
Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari
realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti
dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang
demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah
masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur
konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama
semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan
antara konstruksi Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan
konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang
direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan
interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan
budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat
menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu
masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan
Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh
budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama
yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan
penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama
sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Perdebatan dan
perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah
interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama
yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai
persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan
persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian
manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol
agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama
akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Posisi penting
manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama
dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia.
Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama
yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah
pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam
kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common
sense' dan 'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common sense
mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan
rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah
kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun
teknologi.
Penjelasan
lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai
penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting
agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan
betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari
pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan
juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk
memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa
kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.
Dengan
demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak
akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya
adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari
itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan
pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami
Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang
telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya
dari keberagamaan manusia.
Kepentingan
untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan
wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan
sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah
"fenomena" atau sebuah kerangka "desconstruction theory", mereka
bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local knowledge
sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli
politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of
History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem
demokrasi liberal sebagai satu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli ekonomi,
wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah membuktikan bahwa dunia
perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat telekomonukasi dan komputer
dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi telah mencapai pada
satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat
langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan
makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya
memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan
alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang
runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran
rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal" di era
posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan
budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan
dunia, menjadi sangat penting.
Bassam Tibbi
mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialog
antarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah
fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak
mempunyai tradisi demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak
berarti bahwa budaya-budaya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan
demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang
nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di wilayah lain sehingga muncul
adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic
Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti
apa yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan
itu sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk
menelorkan yang ia sebut sebagai "international morality", suatu
sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya
yang ada.
Agama
merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat yang perlu
dipelajari oleh antropolog ataupun para ilmuwan sosial lainnya. Di dalam
kehidupan masyarakat, agama muncul karena sifat ketauhidan masyarakat tersebut.
Oleh karena itu agama perlu dipelajari dan dihayati oleh manusia karena
kebutuhan manusia terhadap sang maha pencipta. Di dalam agama dijumpai ungkapan
materi dan budaya dalam tabiat manusia serta dalam sistem nilai, moral, etika,
kajian agama, khususnya agama Islam merupakan kebutuhan hidup bagi masyarakat
Indonesia, yang mayoritas. Oleh karena itu, kajian agama seperti Islam, Budha,
Hindu tidak hanya sebatas konsep saja, teori dan aspek-aspek kehidupan manusia
beserta hukumnya, tapi harus dihayati dan direnungi untuk diamalkan dalam
kehidupan manusia. Ide-ide keagamaan dan konsep-konsep keagamaan itu tidak
dipaksa oleh hal-hal yang bersifat fisik tapi bersifat rohani. Karenanya agama
merupakan suatu institusi ajaran yang menyajikan lapangan ekspresi dan
implikasi yang begitu halus yang berbeda dengan suatu konsep hukum ataupun
undang-undang yang dibuat oleh masyarakat.
Berbeda lagi
dengan paham keagamaan, dimana paham keagamaan merupakan perilaku atau cara
berfikir seseorang atau kelompok keagamaan dalam merespon pesan-pesan keagamaan
yang dianutnyaterutama yang tertuang dalam teks-teks suci keagamaan seperti
Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Karena itu dalam religious studies (studi
agama-agama) kajian tentang paham keagamaan masuk dalam wilayah fenomenologi
agama.
Mengkaji fenomena
keagamaan, berarti mempelajari kehidupan manusia dalam kehidupan beragamanya.
Fenomena keagamaan itu sendiri adalah cara berfikir, sikap dan perilaku manusia
yang menyangkut hal-hal yang dipandang suci (The Holy), keramat (karamah)
yang berasal dari suatu kegaiban, (Mattulada: 1988).
BAB II
PEMBAHASAN
1. Fenomena Agama Dalam
Kehidupan Manusia
Agama dan kehidupan beragama
merupakan unsur yang tak terpisahkan dari kehidupan dan sistem budaya umat
manusia. Sejak awal manusia berbudaya, agama dan kehidupan beragama tersebut
telah menggejala dalam kehidupan, bahkan memberikan corak dan bentuk dari semua
perilaku budayanya. Agama dan perilaku keagamaan tumbuh dan berkembang dari
adanya rasa ketergantungan manusia terhadap kekuatan ghaib yang mereka rasakan
sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka harus berkomunikasi untuk memohon
bantuan dan pertolongan kepada kekuatan ghaib tersebut, agar mendapatkan
kehidupan yang aman, selamat dan sejahtera. Tetapi apa dan siapa kekuatan ghaib
yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan tersebut, dan bagaimana cara
berkomunikasi dan memohon perlindungan dan bantuan tersebut, mereka tidak tahu.
Mereka merasakan adanya dan kebutuhan akan bantuan dan perlindungannya. Itulah
awal rasa Agama, yang merupakan desakan dari dalam diri mereka, yang mendorong
timbulnya perilaku keagamaan. Dengan demikian, rasa Agama dan perilaku
keagamaan merupakan pembawaan dari kehidupan manusia, atau dengan istilah lain
merupakan fitrah manusia.
Fitrah adalah kondisi sekaligus
potensi bawaan yang berasal dari dan ditetapkan dalam proses penciptaan
manusia. Di samping fitrah beragama, manusia memiliki fitrah untuk hidup
bersama dengan manusia lainnya atau bermasyarakat. Dan fitrah pokok dari
manusia adalah fitrah berakal budi, yang memungkinkan manusia berbudi daya
untuk mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidup, mengatur dan mengembangkan
kehidupan bersama. Serta menyusun sistem kehidupan dan budaya serta lingkungan
hidup yang aman dan sejahtera. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia
dengan akal budinya berkemampuan untuk menjawab tantangan dan memecahkan
permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya baik yang bersumber dari rasa
keagamaan maupun rasa kebersamaan (bermasyarakat), serta rasa untuk memenuhi
kebutuhan dan mempertahankan hidup. Dan dengan akalnyalah manusia membentuk
kehidupan budaya, termasuk di dalamnya kehidupan keagamaannya. Selanjutnya, Agama dan kehidupan keagamaan yang terbentuk bersama dengan
pertumbuhan dan perkembangan akal
serta budi daya manusia disebut dengan Agama Akal atau Agama Budaya. Sementara
itu sepanjang kehidupan manusia, Allah telah memberikan petunjuk melalui para
Rasul tentang Agama dan kehidupan keagamaan yang benar. Para Rasul itu juga
berfungsi untuk memberikan petunjuk guna meningkatkan daya akal budi manusia
alam menghadapi dan menjawab tantangan serta memecahkan permasalahan kehidupan
umat manusia yang terus berkembang sepanjang sejarahnya. Agama yang dibawa
Rasul Allah itu bukan hanya berkaitan dengan kehidupan keagamaan semata, tetapi
juga menyangkut kehidupan-kehidupan sosial budaya yang lainnya. Agama ini
mendorong agar kehidupan keagamaan, kehidupan sosial dan kehidupan budaya
lainnya dapat tumbuh berkembang bersama secara terpadu untuk mewujudkan suatu
sistem budaya dan peradaban yang Islami. [1]
Fenomena agama selalu hadir dalam kehidupan
manusia karena manusia tidak bisa lepas dari Allah atau yang dianggap Allah dan
karena agama sangat erat kaitannya dengan Allah. Adapun fungsi agama bagi
kehidupan.
Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat penting dalam
kehidupan manusia, antara lain adalah :
- Karena agama merupakan sumber moral
- Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
- Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika.
- Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak
berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S.
al-Nahl (16) : 78
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa.
Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di
antara mereka yang mensyukurinya.
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh
berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya.
Godaan dan rayuan daridalam diri manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu
- Godaan dan rayuan yang berysaha menarik manusia ke dalam lingkungan kebaikan, yang menurut istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada hidayah ataukebaikan.
- Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada kejahatan
Disinilah letak fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing
manusia kejalan yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau
kemungkaran.
Fungsi Agama Kepada Manusia
Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah
disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk
menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama
mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah:
- Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatakan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia
sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai satu keseluruhan), dan
juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya
sukar dicapai melalui inderia manusia, melainkan sedikit penerangan daripada
falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah
ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT
-Menjawab pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetengah soalan yang senantiasa ditanya oleh manusia merupakan
soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya soalan
kehidupan selepas mati, matlamat menarik dan untuk menjawabnya adalah
perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab soalan-soalan
ini.
- Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah
kerana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama,
malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
– Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyarankan kepada kebaikan. Dalam ajaran agama
sendiri sebenarnya telah menggariskan kod etika yang wajib dilakukan oleh
penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi kawanan sosial
Fungsi Sosial Agama
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu
pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative
factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat
destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor). Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu
agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti
peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara
anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial
yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang
mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh
kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.
Fungsi Disintegratif Agama
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan,
mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama
juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah
bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi
dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga
seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
Tujuan Agama
Salah satu tujuan agama adalah membentuk jiwa nya ber-budipekerti dengan
adab yang sempurna baik dengan tuhan-nya maupun lingkungan masyarakat.semua
agama sudah sangat sempurna dikarnakan dapat menuntun umat-nya bersikap dengan
baik dan benar serta dibenarkan. keburukan cara ber-sikap dan penyampaian si
pemeluk agama dikarnakan ketidakpahaman tujuan daripada agama-nya. memburukan
serta membandingkan agama satu dengan yang lain adalah cerminan kebodohan si
pemeluk agama
Beberapa tujuan agama yaitu :
- Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).
- Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
- Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah.
- Menyempurnakan akhlak manusia.
Menurut para peletak dasar ilmu sosial seperti Max Weber, Erich Fromm, dan
Peter L Berger, agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Bagi umumnya agamawan, agama merupakan aspek yang paling besar
pengaruhnya –bahkan sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang
batin)– dalam kehidupan kemanusiaan.
Masalahnya, di balik keyakinan para agamawan ini, mengintai kepentingan
para politisi. Mereka yang mabuk kekuasaan akan melihat dengan jeli dan tidak
akan menyia-nyiakan sisi potensial dari agama ini. Maka, tak ayal agama
kemudian dijadikan sebagai komoditas yang sangat potensial untuk merebut
kekuasaan. Yang lebih sial lagi, di antara
elite agama (terutama Islam dan Kristen yang ekspansionis), banyak di antaranya
yang berambisi ingin mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi)
seluas-luasnya keyakinan agama yang dipeluknya. Dan, para elite agama ini pun
tentunya sangat jeli dan tidak akan menyia-nyiakan peran signifikan dari negara
sebagaimana yang dikatakan Hobbes di atas. Maka, kloplah, politisasi agama
menjadi proyek kerja sama antara politisi yang mabuk kekuasaan dengan para
elite agama yang juga mabuk ekspansi keyakinan.
Namun, perlu dicatat, dalam proyek “kerja sama” ini tentunya para politisi
jauh lebih lihai dibandingkan elite agama. Dengan retorikanya yang memabukkan,
mereka tampil (seolah-olah) menjadi elite yang sangat relijius yang
mengupayakan penyebaran dakwah (misi agama) melalui jalur politik. Padahal
sangat jelas, yang terjadi sebenarnya adalah politisasi agama. Di tangan
penguasa atau politisi yang ambisius, agama yang lahir untuk membimbing ke
jalan yang benar disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan; agama yang
mestinya bisa mempersatukan umat malah dijadikan alat untuk mengkotak-kotakkan
umat, atau bahkan dijadikan dalil untuk memvonis pihak-pihak yang tidak sejalan
sebagai kafir, sesat, dan tuduhan jahat lainnya.
Menurut saya, disfungsi atau penyalahgunaan fungsi agama inilah yang
seyogianya diperhatikan oleh segenap ulama, baik yang ada di
organisasi-organisasi Islam semacam MUI. Ulama harus mampu mengembalikan fungsi agama karena Agama bukan benda yang harus dimiliki,
melainkan nilai yang melekat dalam hati.
Mengapa kita sering takut kehilangan agama, karena agama kita miliki, bukan
kita internalisasi dalam hati. Agama tidak berfungsi karena lepas dari ruang
batinnya yang hakiki, yakni hati (kalbu). Itulah sebab, mengapa Rasulullah SAW
pernah menegaskan bahwa segala tingkah laku manusia merupakan pantulan hatinya.
Bila hati sudah rusak, rusak pula kehidupan manusia. Hati yang rusak adalah
yang lepas dari agama. Dengan kata lain, hanya agama yang diletakkan di relung
hati yang bisa diobjektifikasi, memancarkan kebenaran dalam kehidupan
sehari-hari.Sayangnya, kita lebih suka meletakkan agama di arena yang lain: di
panggung atau di kibaran bendera, bukan di relung hati.
Fungsi pertama agama, ialah mendefinisikan siapakah saya dan siapakah
Tuhan, serta bagaimanakah saya berhubung dengan Tuhan itu. Bagi Muslim, dimensi
ini dinamakan sebagai hablun minaLlah dan ia merupakah skop manusia meneliti
dan mengkaji kesahihan kepercayaannya dalam menghuraikan persoalan diri dan Tuhan
yang saya sebutkan tadi. Perbincangan tentang fungsi pertama ini berkisar
tentang Ketuhanan, Kenabian, Kesahihan Risalah dan sebagainya.
Kategori pertama ini, adalah daerah yang tidak terlibat di dalam dialog
antara agama. Pluralisma agama yang disebut beberapa kali oleh satu dua
penceramah, tidak bermaksud menyamaratakan semua agama dalam konteks ini. Mana mungkin
penyama rataan dibuat sedangkan sesiapa sahaja tahu bahawa asas agama malah
sejarahnya begitu berbeda. Tidak mungkin semua agama itu
sama. Manakala fungsi kedua bagi agama ialah mendefinisikan siapakah saya dalam
konteks interpersonalia itu bagaimanakah saya berhubung
dengan manusia. [2]
Ketika Allah SWT menurunkan ayat al-Quran yang memerintahkan manusia agar
saling kenal mengenal (Al-Hujurat 49: 13), perbezaan yang berlaku di antara
manusia bukan sahaja meliputi perbezaan kaum, malah agama dan kepercayaan.
Fenomena berbilang agama adalah seiring dengan perkembangan manusia yang
berbilang bangsa itu semenjak sekian lama. Maka manusia dituntut agar belajar untuk menjadikan perbedaan itu sebagai
medan kenal mengenal, dan bukannya gelanggang krisis dan perbalahan.Untuk
seorang manusia berkenalan dan seterusnya bekerjasama di antara satu sama lain,
mereka memerlukan beberapa perkara yang boleh dikongsi bersama untuk
menghasilkan persefahaman. Maka di sinilah, dialog antara agama (Interfaith
Dialogue) mengambil tempat. Dialog antara agama bertujuan untuk menerokai
beberapa persamaan yang ada di antara agama. Dan persamaan itu banyak ditemui
di peringkat etika dan nilai.
CONTOH
FENOMENA AGAMA DALAM LINGKUNGAN MANUSIA
KABUPATEN SELAYAR
Kabupaten
Kepulauan Selayar merupakan salah satu Kabupaten di antara 24 Kabupaten/Kota di
Propinsi Sulawesi Selatan yang letaknya di ujung selatan dan memanjang dari Utara
ke Selatan. Daerah ini memiliki kekhususan, yakni satu-satunya Kabupaten di
Sulawesi Selatan yang seluruh wilayahnya terpisah dari daratan Sulawesi Selatan
dan lebih dari itu wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar terdiri dari gugusan
beberapa pulau sehingga merupakan wilayah kepulauan. Berdasarkan letak,
Kepulauan Selayar merupakan kepulauan yang berada di antara jalur alternatif
perdagangan internasional yang menjadikan Selayar secara geografis sangat
strategis sebagai pusat perdagangan dan distribusi baik secara nasional untuk
melayani Kawasan Timur Indonesia maupun pada skala internasional guna melayani
negara-negara di kawasan Asia.
Pada kabupaten
ini masyarakatnya mayoritas agama islam. Dimana bisa di rata-ratakan sekitar
80% masyarakat kabupaten selayar adalah Islam. Agama yang lain yang terdapat di
kabupaten ini hanya Kristen, dan Budha. Agama hindu sangat jarang dijumpai di
daerah ini. Itupun agama Budha hanya terdapat di dua desa (satu kecamatan)
yaitu Kecamatan Passimasunggu yang bernama Desa Tongke-tongke dan Biring
Balang. Kemudian agama Kristiani hanya tedapat di Ibu kota Kabupaten
yaitu Kota Benteng. Hampir keseluruhan agama Kristiani yang terdapat di
Kabupaten Selayar yaitu keturunan Tiong-hoa. Yang menetap di selayar secara
turun temurun.
Oleh sebab itu
Kabupaten Selayar memiliki adat istiadat yang sangat identik dengan agama
Islam, karena secara nyata memang masyarakatnya di dominasi agama Islam. Dimana
seperti adat pada saat memperingati hari Nabi Besar Muhammad SAW. Dan ini
berlangsung sangat lama, biasanya di mulai dari bulan Maret-awal Mei. Dan di
kenal dengan nama (Mulu’). Serta mempertunjukkan adat maulid dari desa-desa.
Yang dinamakan Pa’belu. Namun selain itu masyarakat di kabupaten ini juga,
masih ada sebagian masyarakatnya yang mempercayai animisme dan dinamisme.
Dimana masih banyak sebagian orang yang percaya terhadap benda-benda gaib, atau
pohon-pohon gaib. Serta kuburan-kuburan sejarah. Mereka biasanya membawa sebuah
sesajian sebagai tanda terima kasih atas apa yang mereka dapatkan, yang pernah
mereka ungkapkan pada saat datang ke tempat yang mereka percayai memiliki
kekuatan gaib dan meyakini akan mewujudkan apa yang mereka inginkan. Sedangkan
terhadap agama kristiani atau budha itu tidak terlalu Nampak bagaimana mereka
beribadah dan kepercayaan-kepercayaan lain yang mereka yakini selain agama yang
benar-benar riil kita lihat.
Berbeda lagi
dengan yang ada di pulau-pulau kecil kepulauan selayar itu sendiri, yaitu pulau
Taka Bonerate. Yang secara etnis kawasan Taka Bonerate dihuni oleh dua suku
dominan yaitu Bajo sekitar 55%, dan bugis sekitar 40%, selebihnya suku campuran
Muna-buton dan Palue 5%. Mereka pada umumnya menganut agama Islam. Keyakinan
ini sudah di peluk masyarakat setempat secara turun temurun dan menjadi agama
dominan di kawasan tersebut. Meskipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa
keyakinan mereka terhadap islam cenderung bersifat formalistic, adhoc dan
literer, karena itu perilaku keagamaan mereka belum mampu meredam tindakan
deskruktif yang mengancam kelestarian lingkungan pada wilayah kwasan taka
bonerate tersebut, khususnya tempat wisata alamnya yang menjadikan Taka
Bonerate terkenal di tingkat Internasional. Dimana mereka melakukan pemboman
maupun pembiusan ikan-ikan karang. Akibatnya ekosistem terumbu karang di Taka
Bonerate saat ini telah mengalami degradasi sampai tingkat yang cukup
mengkhawatirkan. Bila kondisi ini dibiarkan terus, jelas tidak saja dapat
mengancam kelestarian terumbu karang tetapi juga ekosistem laut secara luas
dapat dirusak secara permanen. Karena dominannya paham keagamaan yang bersifat
formalistik, adhoc, dan literer di kalangan masyarakat Taka Bonerate, sehingga
melahirkan pandangan tentang islam yang cenderung “eksklusif”dan nyaris Jumud.
Agama dipahami sekedar sebagai wacana ibadah dalam arti sempit yakni
ritus-ritus yang membangun hubungan manusia dengan Tuhan (Theology).
Sementara hubungan antara sesama manusia (sociology), apalagi hubungan
manusia dengan alamnya (cosmology) sama sekali tidak diletakkan sebagai
agenda penting dalam kerangka paham keagamaan mereka.
Paham
keagamaan tersebut dianut dan terbangun oleh hamper sebagian besar masyarakat,
karena materi dan metode dakwah yang dikembangkan para muballigh selama ini
memang tidak menyentuh hal tersebut diatas. Sehingga agama bagi mereka dipahami
sebagai sesuatu yang bersifat eskatologis dan transenden semata, tidak
menyentuh apalagi menyapa kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Kenyataan
yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa karena letaknya yang spesifik, maka
perlakuan dakwah mayarakat kepulauan semestinya dilakukan dengan pendekatan
yang khas dan tipikal yang tidak semestinya dilakukan dengan perlakuan dakwah
didaratan. Sebab pola interaksi, mata pencaharian, perilaku budaya masyarakat
kepulauan untuk menyebut beberapa diantaranya sangat jauh berbeda dengan watak
masyarakat daratan. Sementara terdapat kenyataan yang memperlihatkan bahwa baik
materi maupun metode dakwah yang digunakan oleh para muballigh dikawasan
tersebut cenderung sama dengan metode yang digunakan untuk komunitas di
daratan.
Bahkan dalam
tingkat yang lebih praktis terdapat satu paham keagamaan yang demikian kuat
pengaruhnya terhadap masyarakat yakni apa yang oleh masyarakat kawasan kenal
sebagai “Ajaran-ajaran Puang Rajuni”. Ajaran ini berakar pada satu pemikiran
keagamaan salah seorang ulama yang hidup di pulau Rajuni kecil sekitar abad 20,
yakni KH.Abdul Muin yang akrab disapa dengan Puang Rajuni. Meski tinggal di
Pulau Rajuni kecil, Puang Rajuni berpengaruh luas hingga ke tujuh pulau
disekitarnya. Menurut pengakuan Imam Rajuni Abdul Majid, yang juga putra Puang
Rajuni, bahwa KH.Abdul Muin atau Puang Rajuni merupakan keturunan Pangeran
Dipenegoro.
Masyarakat
Selayar di kepulauan Taka Bonerate mrupakan penganut setia Tariqat
al-muhammadiyah yang diajarkan Puang Rajuni, warisan dari orang tuanya
KH. Moh. Said. Salah satu ajarannya adalah setelah sholat jumat
dilaksanakan lagi sholat dzuhur berjamaah. Model khutbahnya menggunakan teks
bahasa arab dan setelah selesai sholat diadakan Tahlil (membaca la
ilaha illallah) dengan suara keras sambil menggoyangkan kepala. Salahsatu
pengaruh Puang Rajuni dalam kehidupan beragama adalah fatwanya yang sampai
sekarang masih dipegang erat oleh masyarakat kepulauan Taka Bonerate yang ada
di Selayar tentang anjuran untuk tidak melakukan aktivitas melaut (menangkap
ikan) pada hari Jum’at sebab Jum’at adalah hari beribadah.
Bagi masyarakat Taka Bonerate hari jumat berbeda dengan
hari lainnya. Sepanjang hari sabtu hingga kamis merupakan hari kerja, berlayar,
bermalam di samudera, berselimut awan, dan berbantal ombak. Tetapi hari jum’at
tiba. Semua itu tidak berlaku. Bagi mereka yang ingin melaut hari itu, akan
berangkat selepas Jum’at. Tetapi sebagian besar warga memilih unutk libur.
Paham keagamaan seperti itu sudah tertanam secara turun temurun dan bahkan
telah menjadi tradisi dikalangan masyarakat nelayan Taka Bonerate samapai saat
ini. Dalam kehidupan spiritual atau tepatnya mungkin religio, magisme, dan
pengaruh Puang Rajuni cukup kuat, termasuk menyangkut etos kerja. Karena itu tidak
heran banyak yang berguru padanya. Muridnya berjumlah ratusan, umumnya mereka
yang bermukim pada kawasan Taka Bonerate. Menurut penuturan masyarakat setempat
bila salah seorang punya hajat misalnya, atau hendak memulai satu usaha, puang
Rajuni tidak terlupakan. Misalnya mencari hari baik untuk peluncuran perahu
baru, menentukan arah bangunan rumah, hari perkawinan dan sebagainya tidak
pernah terlepas dari nasehat Puang Rajuni. Puang Rajuni juga punya pengetahuan
yang cukup tentang hari-hari baik untuk melaut.
Agama Sebagai
Sistem Budaya
Geertz adalah
orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah system
budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap
sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika
teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Mark, Weber dan
Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme,
memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus
dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat.
Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari
system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang
dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang
demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk
membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama
sebagai:
"A system
of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods
and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions
with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely
realistic."
Dengan
pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian
semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama
mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan
simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi
tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya
diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu.
Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia
merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of
reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem
yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu
sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Geertz
menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu
masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam
Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam
masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan
ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi
kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu
masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam
masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan
masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.
fenomena agama
itu adalah dimensi sosiologisnya, sampai seberapa jauh agama dan nilai-nilai
keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi
masyarakat manusia. Contoh konkretnya, seperti: seberapa jauh unsur kepercayaan
mempengaruhi pembentukkan kepribadian pemeluknya, ikut mengambil bagian dalam
menciptakan jenis kebudayaan, mempengaruhi terbentuknya partai-partai politik
dan golongan nonpolitik, memainkan peranan dalam munculnya strata sosial,
lahirnya organisasi, seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial. Untuk
mencapai maksudnya sosiologi agama menempuh cara dengan observasi, interview
dan angket mengenai masalah-masalah keagamaan yang dianggap penting dan sanggup
memberikan data yang dibutuhkan.
2.
Fenomena Kemerosotan Kualitas Agama
Pada acara-acara
keagamaan di kampung-kampung, seringkali pembaca acara (moderator) menyampaikan
rasa hormat dan terima kasih di antaranya kepada ulama. Padahal tidak jarang,
sebutan ulama itu dimentahkan oleh realita acara tersebut. Ternyata yang
dimaksud hanya guru ngaji atau guru madrasah biasa.
Surutnya kualitas
makna ulama berbanding lurus dengan berkurangnya semangat untuk mencari,
menghormati dan mengamalkan ilmunya. Masyarakat pun sepertinya kurang mendukung
keberadaan orang alim yang benar-benar berilmu dan mendakwahkannya. Penceramah
yang pandai memancing gelak-tawa hadirin lebih disukai. Jadilah majelis taklim
seperti tontonan lawak, lantaran begitu derasnya tawa yang terdengar. Apalagi
bila ditambah dengan ulah buruk sebagian orang yang sudah meraih gelar ulama
sehingga kian menambah terpuruknya citra Ulama itu sendiri. Sehingga, manusia
bergelar ulama dengan makna sesungguhnya yang berorientasi kepada Allâh Ta'âla
(Ulama Rabbani) menjadi makhluk langka.
Ulama adalah panutan
dan tumpuan terhadap persoalan-persoalan yang menjadi keluh-kesah masyarakat.
Pada zaman globalisasi ini, permasalahan yang dihadapi semakin kompleks dan
aneh-aneh. Dalam hal ini, para ahli hukum agama Islam (fuqaha) sebenarnya tidak
boleh santai dalam mendalami ilmu. Apalagi sampai berhenti, merasa puas dengan
apa yang sudah dimiliki. Kondisi ini sedikit demi sedikit kian parah, tatkala
insan-insan yang sudah terdaulat mengerti masalah agama, tidak tanggap terhadap
persoalan-persoalan baru dan masih fanatik dengan satu kitab kuningnya.
Akibatnya,
pengetahuan agama berjalan di tempat, perkembangan ilmu agama tidak seimbang
dengan perkembangan dinamika sosial yang bergerak cepat. Zakat saham, solusi
dari bank ribawi, bayi tabung, sewa rahim, transaksi via internet dan deretan
persoalan baru yang sudah akrab dengan denyut kesibukan masyarakat menuntut
kesigapan para Ulama. Masalah-masalah yang dianggap kecil dan ringan saja masih
memerlukan kehati-hatian untuk menjawabnya, terlebih lagi persoalan-persoalan
kontemporer yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Akan tetapi bagi yang
kurang takut kepada Allâh Ta'âla, akan memaksakan diri untuk memutar-mutar otak
dan memeras kepalanya ketika menghadapi suatu pertanyaan; padahal sebenarnya
dia belum pernah tahu. Akan tetapi terdorong oleh ego tinggi dan rasa malu bila
tidak bisa menjawab, maka akhirnya terpaksalah muncul jawaban dari bibirnya. Keadaan
semacam ini sangat memprihatinkan. Tatkala orang secara serampangan
mengeluarkan fatwa tentang masalah agama. Padahal ia tidak mengetahuinya atau
kurang memahaminya.
Ketika orang mengatakan ini boleh, itu tidak boleh, itu halal, itu
haram, pada hakekatnya ia telah berkata atas nama Allâh Ta'âla, Dzat yang
berwenang menetapkan aturan hukum di alam semesta ini. Karena itu, setiap orang
harus mengerem lidah dari berfatwa tentang permasalahan yang tidak ia ketahui
dengan baik. Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan
kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau
supranatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat,
bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan beragama yang bertolak dari
kekuatan ghaib ini tampak aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam
pandangan individu dan masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh
pandangan bahwa sesuatu diyakini kalau konkret, rasional, alamiah atau terbukti
secara empiric dan ilmiah.
Ketergantungan
masyarakat dan individu pada kekuatan ghaib ditemukan dari zaman purba sampai
ke zaman moden ini, kepercayaan itu diyakini kebenarannya sehingga ia menjadi
kepercayaan keagamaan atau kepercayaan religius. Kepercayaan terhadap sucinya
sesuatu itu dinamakan dalam antropologi dan sosiologi agama dengan mempercayai
sifat sacral pada sesuatu itu, mempercayai sesuatu sebagai yang suci atau
sacral juga cirri khas kehidupan beragama, adanya aturan kehidupan yang
dipercayai berasal dari Tuhan juga termasuk kehidupan beragama. Semuanya ini
menunjukan bahwa kehidupan beragama aneh tapi nyata, dan merupakan gejala
universal, ditemukan di mana dan kapan pun dalam kehidupan individu dan
masyarakat.
Namun dalam fenomena social budaya, dalam kehidupan umat
islam di zaman modern ini, kehidupan beragama menjadi menciut dalam aspek kecil
dan kehidupan sehari-hari, yaitu yang berhubungan dengan yang ghaib dan ritual
saja. Kehidupan beragama umat islam dewasa ini menjadi subsistem social
budayanya. Fenomena penciutan beragama ini karena pengaruh budaya modernism dan
sekularisme. Walaupun pengaruh modernism dan sekularisme demikian kuat, ia juga
menimbulkan gerakan dan aliran keagamaan dalam rangka melawan dominasi
modernism dan sekularisme tersebut, seperti aliran skripturalis dan gerakan
terror. Maraknya aliran kebatinan, occultism, aliran ekslusif lainnya
menjadikan fenomena kehidupan beragama makin kompleks. Semua ekslusivitas dan
kompleksitas kehidupan beragama ini menjadikannya menarik untuk diteliti secara
antropologis. Kajian antropologi terhadap berbagai aliran ekslusif juga akan
menjelaskan akar-akar budaya dari objek yang dikaji, secara mencoba memahami
gejala tesebut dalam konteks budaya yang bersangkutan.
Dinamika agama juga dapat disaksikan melalui fenomena lahirnya
agama-agama baru. Agama-agama besar yang eksis di dunia sekarang ini dalam
sejarahnya merupakan agama-agama baru di masyarakat pada awal kelahirannya.
Pada konteks klasik, bisa diambil misal pertumbuhan agama Budha yang dianggap
baru ketika Siddharta Gautama menyebarkan ajaran-ajarannya di tengah masyarakat
India yang kala itu umumnya beragama Hindu. Adapun pada konteks kontemporer,
kelahiran agama-agama baru dapat dilihat antara lain melalui kemunculan Aum
Shinrikyo di Jepang, Scientology di Jerman dan Falungong di China. Menariknya,
lahirnya agama-agama baru tersebut rata-rata mendapatkan kecaman sebagai ajaran
yang akan merusak tatanan yang sudah mapan di masyarakat. Islam contohnya,
ketika pertama kali diserukan Nabi Muhammad di tengah-tengah masyarakat Arabia
juga mendapat reaksi dan tuduhan sebagai ajaran yang mengancam eksistensi
kepercayaan keagamaan sekaligus keharmonisan hidup penduduk setempat.
Secara umum, masyarakat Indonesia terkenal
memiliki tingkat religiositas yang tinggi. Hal ini terbukti dengan keberadaan
agama di negeri ini yang diakui dan dilindungi pemerintah sesuai dengan
undang-undang. Dengan bebas pemeluk dari berbagai agama melakukan aktifitas
yang bernuansa rohani sesuai dengan keyakinannya. Hari-hari raya keagamaan dijalani
dengan begitu serius oleh setiap pemeluknya. Bahkan tidak jarang para pejabat
pemerintah menghadiri perayaan agama tertentu sebagai bukti pengakuan dan
dukungan nyata. Tentu saja, hal ini menggembirakan semua pihak, secara khusus
masyarakat yang meyakininya.
Namun demikian, ada hal-hal yang perlu kita dicermati dengan seksama, yakni realita yang ada dalam masyarakat pemeluk suatu agama. Saya mengamati hal ini dengan sungguh serius, tentang adanya perbedaan mendasar antara fenomena dan realita kehidupan umat beragama.
Namun demikian, ada hal-hal yang perlu kita dicermati dengan seksama, yakni realita yang ada dalam masyarakat pemeluk suatu agama. Saya mengamati hal ini dengan sungguh serius, tentang adanya perbedaan mendasar antara fenomena dan realita kehidupan umat beragama.
Dalam kehidupan sosial, agama memang tidak hanya menjadi
legitimasi etik bagi pemeluknya, tetapi juga memiliki peran penting dalam ranah
kehidupan sosial masyarakat, ekonomi, demikian pula dalam ranah politik. Dengan
kata lain, peran agama dalam masyarakat kita cukup menguat, dan
tercermin baik pada struktur masyarakat maupun dalam struktur politik
bernegara. Fenomena tersebut membenarkan prediksi Jhon Naisbit tentang
“kebangkitan agama-agama” pada abad 21 yang ditandai dengan makin meningkatnya
hasrat masyarakat menjadikan agama sebagai sumber utama rujukan dalam setiap
ranah kehidupan. Namun di sisi lain, kebangkitan agama menjadi pergumulan atau
kekwatiran tersendiri. Pasalnya, kebangkitan agama yang terjadi, agaknya baru
sebatas kebangkitan dalam arti formal, yaitu peningkatan secara
kuantitatif penganut agama di tengah masyarakat. Kebangkitan agama belum
sepenuhnya disertai dengan komiitmen untuk menjalankan ajaran agama secara
substantif. Kebanyakan orang masih mengamalkan simbol-simbol ritual agama yang
tidak disertai kesadaran spiritual. Model pengenalan agama yang menekankan
simbol-simbol ritual ini berpotensi menampilkan wajah kehidupan beragama yang
kurang angun atau bersahabat dan tidak jarang terkesan menyeramkan karena
semangat penuh fanatik dari masing-masing pengikut agama terkadang memicu
pecahnya konplik antar umat beragama. Disinilah kebangkitan agama
memiliki dua sisi yang harus diperhatikan sekaligus diwaspadai. Karena agama
berpotensi menjadi altruism masyarakat atas nilai-nilai, sekaligus berpotensi
pula menjadi komuditas sentimental terhadap realitas yang penuh keragaman
budaya etnis dan agama. Agama yang seharusnya menjadi inspirasi bagi manusia
untuk membangun hidup berkeadaban belum menyentuh problem real kemasyarakatan.
Para agamawan masih cenderung lebih memilih tema surga dan keselamatan di
akhirat ketimbang membicarakan atau melakukan dialog dan forum kajian ilmiah
tentang sikap apa yang seharusnya dimiliki seseorang yang beragama dalam
membangun peradaban manusia seutuhnya. Lebih parah lagi masih banyak dari
kalangan agamawan menjadikan agama hanya sebagai instrument pembangunan
kekuatan politik untuk kepentingan pribadi. Doktrin agama
diartikan/diiterpretasikan untuk melegitimasikan kepentingan pribadi semata dan
menghancurkan bangunan stabilitas sosial, dan masyarakat hanyut dalam
hegemoni kepentingan para tokoh agamanya yang terkadang tidak jujur.
Bahkan tidak jarang kelompok agama tertentu dalam masyarakat menyakiti kelompok
yang lainnya dengan mengatasnamakan “kebenaran”, “mission” serta istilah
lain yang kerap diperdengarkan dan menjadi materi kajian yang sering
diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat oleh tokoh agama melalui
ceramah-ceramahnya.
Kehadiran Agama-agama di Indonesia
Di tengah fenomena beragama dalam masyarakat plulalistis, para agamawan adalah ujung tombak dalam pembinaan umat masing-masing. Mereka bukan saja pemimpin, melainkan juga Pembina, pendidik dan penyampai pokok-poko ajaran dan keyakinan agama mereka pada umat masing-masing. Dalam masyarakat Indonesia yang paternalistic para pemimpin agama, seperti Pastor, Pendeta, Ulama, Guru Agama, Da'i/Mubaligh dan Bikhu adalah tokoh panutan. Apa yang diperbuat, disampaikan, dan diajarkan oleh agamawan pada umat sangat mempengaruhi sikap dan prilaku keberagamaan umat.
Kehadiran Agama-agama di Indonesia
Di tengah fenomena beragama dalam masyarakat plulalistis, para agamawan adalah ujung tombak dalam pembinaan umat masing-masing. Mereka bukan saja pemimpin, melainkan juga Pembina, pendidik dan penyampai pokok-poko ajaran dan keyakinan agama mereka pada umat masing-masing. Dalam masyarakat Indonesia yang paternalistic para pemimpin agama, seperti Pastor, Pendeta, Ulama, Guru Agama, Da'i/Mubaligh dan Bikhu adalah tokoh panutan. Apa yang diperbuat, disampaikan, dan diajarkan oleh agamawan pada umat sangat mempengaruhi sikap dan prilaku keberagamaan umat.
Kenyataan secara umum memperlihatkan, masih
banyak khotbah attau ceramah yang disampaikan oleh para agamawan masih
mengandung misperception dan misunderstanding terhadap agama atau keyakinan
lain. Bahkan terkadang masih muncul khotbah aatau ceramah yang bernada hasutan,
fitnahan dan provokatif terhadap agama lain. Hal ini memperlihatkan bahwa
kesadaran tentang realitas pluralitas masyarakat dan agama dan pentingnya
toleransi belum memadai. Rendahnya kesadaran terhadap realitas pluralitas
masyarakat berpotensi bukan saja mengganggu kehidupan bersama dalam masyarakat,
melainkan juga berpotensi bagi kekerasan terhadap kemanusiaan.
Dengan kata lain, kekerasan terhadap orang
lain justru bermula dari kekerasan di dalam pikiran yang pada saatnya
akan terwujud dalam bentuk kekerasan fisik, atau perlakuan diskriminatif
terhadap sesama manusia, sesama anak bangsa, sesama umat beragama. Pengalaman
dan peristiwa konplik bernuansa SARA yang pernah terjadi seperti Ambon, Poso,
Sampit, dan sebagainya memperlihakan peran yang signifikan dari para
agamawan/tokoh agama dalam mengobarkan semangat kebencian atau permusuhan
terhadap kelompok lain.
Agama dan Hak Asasi Manusia
Dalam konferensi Agama dan Perdamaian yang
berlangsung di Kathmandu, Nepal 28 Oktober 2 Nopember 1991, dikatakan
bahhwa peranan agama dalam kehidupan manusia adalah sangat menentukan.
Alasannya, karena agama adalah mata air kehidupan tempat manusia menemukan
makna kehidupan yang terdalam. Ini menandakan bahwa beragama adalah salah satu
hak asasi manusia, karena didalamnya manusia menemukan pandangan hidup dan
inspirasi yang dapat menjadi landasan yang kokoh untuk pembentukan nilai,
harkat dan martabat manusia. Begitu pentingnya peranan agama, maka dalam
mengisi era globalisasi atau abad 21 yang maju dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, manusia akan mendambakan peranan agama sebagai petunjuk rohani untuk
mengatasi keterasingan dan kegersangan batiniah.
Dengan demikian, agama menjadi sebuah
komitmen terdalam bagi manusia untuk mencapai harmoni dan perdamaian bagi
manusia di masa kini maupun di masa mendatang. Dengan demikian pula, peranan
agama bukanlah terutama sekedar untuk melestarikan nilai-nilai tradisional,
tetapi berperan lebih sebagai suatu kekuatan yang transformatif. Artinya agama
berada bukan untuk memuja masa lampau, tetapi menjadi inspirasi dan mampu
menciptakan masa depan. Inilah peranan agama-agama dalam kehidupan manusia pada
masa kini maupun dimasa mendatang, sehingga dalam menghadapi dunia modern ini
dimana terjadi kebangkitan agama-agama, hak asasi manusia perlu dijamin;
karena pada dasarnya di masa dan di abad manapun manusia itu adalah manusia
yang beragama. Kesadaran dan pengakuan bahwa beragama adalah hak asasi
manusia, hendaknya berlanjut pula kepada kesadaran terhadap realitas pluralitas
masyarakat; kesadaran membangun kehidupan bersama yang saling menghormati dan
saling menghargai berbagai perbedaan agama, kepercayaan, bahkan
keyakinan; serta melahirkan komitmen terhadap kehidupan bersama yang mengupayakan
dan memperjuangkan perdamaian dan keadilan bagi masyarakan secara keseluruhan.
Oleh karena itu, kecendrungan mempertuhankan
agama, pemutlakkan agama sendiri/tertentu dan melihat orang lain salah,
dosa dan sesat dapat dihindari. Karena akibat dari sikap pemutlakkan agama
menjadi tragis. Ada keluarga yang pecah karena agama. Ada Negara yang pecah
karena agama. Orang saling membenci bahkan saling membunuh karena agama. Tragis
dan ironis, karena semua agama mengajarkan welas asih dan kasih saying. Tetapi jika
penganut-penganutnya memutlakkan agama sendiri sebagai tujuan, maka agama
berwajah seram. Dan agama berpotensi mengotak-ngotakkan manusia,
menyekat-menyekat, memisah-misahkan manusia. Saling menajiskan satu dengan yang
lain.
Keberadaan agama atau kepercayaan
tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Manusia pada awalnya
menyadari bahwa ada kekuatan yang melampaui kekuatan yang ada pada dirinya.
Karenanya manusia mulai menyembah dewa-dewa; animisme dan dinamisme mulai
berkembang. Bersamaan dengan kesadaran dan tindakan penyembahan ini, manusia
lalu menciptakan agama dan secara serentak pula bersamaan mereka menciptakan
karya-karya seni. Kesadaran diri sebagai manusia jelas tidak dapat dilepaskan
dari adanya manusia lain di luar dirinya yang kemudian membentuk masyarakat
atau kelompok manusia.
Seorang individu menyadari dirinya
sebagai manusia ketika ia mengalami manusia lain yang ada di luar dirinya.
Karya seni, juga agama, adalah hasil dari proses kreatif-produktif masyarakat
melalui pengembangan kemampuannya sebagai mahluk rasional (homo sapiens) tetapi
sekaligus manusia spiritual (homo religius). Agama sebagai kepercayaan kolektif
dapat dikatakan terbentuk setelah adanya masyarakat. Agama tidak dapat
dipandang sebagai kepercayaan individu belaka yang berusaha mengenali kekuatan
di luar dirinya lepas dari masyarakat. Pokok tersebut menjadi jelas bahwa agama
dapat dibedakan dari kepercayaan pribadi dalam hal sifat sosial-kolektif yang
dimilikinya.
Agama dalam pengertian inilah yang
hendak dihubungkan dengan masyarakat. Masyarakat muncul ketika ada pergeseran
cara hidup manusia dari nomaden menjadi manusia menetap, dari berburu dan
meramu untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi bercocok tanam. Saat itulah
manusia mulai berkelompok dan menemukan dirinya berada dalam ketegangan antara
kepentingannya dengan kepentingan orang lain dalam kelompok itu. Di satu sisi
masyarakat yang terbentuk itu mendorong terbentuknya peradaban manusia yang
mengangkat harkat dan martabatnya sebagai makhluk berakal budi ke tingkat yang
lebih tinggi. Kenyataan masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas sosial
mendorong sekelompok orang dari kelas yang tertindas untuk melarikan diri dari
keadaan struktural masyarakat yang represif dan kemudian melarikan impian dan
harapannya kepada agama. Agama adalah “…usaha manusia untuk menemukan makna dan
arti kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud kasadnya.” Keterkaitan yang
demikian erat antara agama dan masyarakat ini berdampak pada pemanfaatan fungsi
kolektif agama untuk menggerakkan masyarakat demi perubahan sosial atau juga
demi tujuan tertentu yang entah menguntungkan atau merugikan masyarakat itu
sendiri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi, pada umumnya orang menilai kehidupan iman seseorang melalui kegiatan kerohanian atau keagamaan yang diikutinya. Namun, menurut saya fenomena keikutsertaan seseorang di dalam setiap kegiatan keagamaan, bukanlah standart untuk menilai bahwa dia seorang umat beragama yang baik. Nyata dalam kehidupan di masyarakat, belajar agama sekalipun, bukanlah jaminan bahwa seseorang adalah umat yang baik. Belajar agama, atau mengikuti setiap kegiatan keagamaan hanyalah sebatas ilmu (Science) tanpa diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Keberagamaan seseorang harus dircerminkan
dalam seluruh aspek kehidupannya setiap hari. Sebab apabila tidak ada
perbedaan, malah menjadi batu sandungan. Idealnya, setiap tindakan kita harus
dijiwai oleh keyakinan yang kita amini, inilah sikap hidup orang beragama yang
baik. Kalau ini terjadi, maka saya sangat percaya bahwa masalah-masalah yang
ada di negeri kita ini dapat diatasi. Mengapa? Karena semua pihak dewasa dalam
setiap tindakannya dan tidak perlu mempersalahkan orang lain. Sebaliknya,
mendukung dan memberi saran membangun demi kebaikan kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, (2000), “Metodologi Studi
Islam”, Raja Grassindo Persada, Jakarta.
Agus, Bustanuddin, (2006), “Agama dalam
Kehidupan Masyarakat”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kahmad, Dadang, (2002), “Sosiologi Agama”,
PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nata, Abuddin, (1998), “Metodologi Studi
Islam”, Rajawali Press Citra Niaga Buku Perguruan Tinggi, Jakarta.
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.),
Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991
http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/15/agama-dan-perubahan-sosial-sebuah-telaah-pemikiran-karl-marx-dan-emile-durkheim/
Blogger Comment
Facebook Comment