MAKALAH
METODOLOGI
STUDI ISLAM
SISTEM
PEMBUKUAN AS-SUNNAH
Disusun Oleh :
Alvin Ria Subekti
Dosen
Pembimbing : Dra. Siti Nurjanah, M. Ag
MATA KULIAH METODOLOGI
STUDI ISLAM
Program Studi III
Perbankan Syari’ah/1/C
STAIN Jurai
Siwo Metro
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
Pembukuan
As Sunah atau Hadits
Turunnya wahyu kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berkaitan dengan perintah membaca dan belajar
sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang
telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan
kalian. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS.
Al-‘Alaq: 1-5)
Sebelum datangnya agama Islam,
bangsa Arab tidaklah dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga
mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis).
Namun demikian, tidak berarti bahwa diantara mereka tidak ada seorang pun yang
bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan dari
mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang diantara mereka ada yang
mampu membaca dan menulis, Adiy bin Zaid Al-Abbady (wafat 35 sebelum Hijriah)
misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang
pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada
Kisra.
Kemudian pada masa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam tulis-menulis sudah tersebar luas, dimana
Al-Qur’an sendiri menganjurkan untuk belajar dan membaca, dan Rasulullah
sendiri mengangkat para penulis wahyu jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama
mereka disebut dalam kitab “At-Taratib Al-Idariyah”. Bahkan Baladzuri dalam
kitab “Futuhul Buldan” menyebutkan adanya sejumlah penulis wanita, diantara
mereka: ummul mukminin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa’ binti
Abdullah Al-Qurasyiyah, Aisyah binti Sa’ad, Karimah binti Al-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di
Madinah setelah hijrah, setelah perang Badar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menyuruh Abdullah bin Sa’id bin Ash agar mengajar menulis di Madinah. Ibnu
Hajar menyebutkan bahwa nama asli Abdullah bin Said bin Al-Ash adalah Al-Hakam,
lalu Rasulullah memberinya nama dengan Abdullah, lalu menyuruhnya agar mengajar
menulis di Madinah.
Ada beberapa nash yang
bertentangan dalam hal penulisan hadits. Sebagian menunjukkan adanya larangan
penulisan, dan sebagian lain membolehkan adanya penulisan hadits.
a. Riwayat yang melarang penulisan hadits
- Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami dan
sedangkan kami menulis hadits. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Apa yang sedang kalian tulis?’ Kami menjawab, ‘hadits-hadits yang
kami dengar dari engkau.’ Beliau berkata, ‘Apakah kalian menghendaki kitab
selain Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan karena mereka
menulis dari kitab-kitab selain Kitabullah.’” (Diriwayatkan dari Al-Khatib
Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi)
b. Riwayat yang membolehkan penulisan hadits
- Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Tiada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang
lebih banyak haditnya dariku kecuali Abdullah bin Amru Al-Ash karena dia
menulis sedangkan aku tidak menulis.” (HR. Bukhari)
- Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ikatlah ilmu
dengan buku.’” (Diriwayatkan Al-Khatib dalam Taqyidul Ilmi)
Atas dasar perbedaan nash inilah
para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits. Ibnu Shalah berkata,
“Para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits, sebagian diantara
mereka melarang penulisan hadits dan ilmu, serta menyuruh untuk menghafalnya.
Sedangkan sebagian yang lain membolehkannya.”
Mereka yang melarang penulisan
hadits adalah Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Abu Sa’id
Al-Khudri, dan sekelompok lainnya dari kalangan sahabat dan tabi’in. Sedangkan yang membolehkan penulisan
hadits adalah Ali, Hasan bin Ali, Anas, Abdullah bin Amru Al-Ash. Para ulama
telah memadukan dua pendapat yang berselisih antara mereka yang melarang dan
membolehkan penulisan hadits sebagai berikut:
1. Larangan penulisan terjadi pada awal masa
perkembangan Islam sehingga dikhawatirkan akan terjadi percampuran dan
penggabungan antara hadits dan Al-Qur’an. Ketika keadaan telah aman dan
kondusif, serta jumlah penghafal Al-Qur’an telah banyak, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengizinkan untuk menulis hadits, dan larangan sebelumnya
mnejadi mansukh (terhapus).
2. Larangan hanya khusus pada penulisan
hadits bersamaan dengan Al-Qur’an dalam satu lembar atau shahifah, karena
khawatir terjadi kemiripan atau kesamaan.
3. Larangan hanya bagi orang yang diyakini
mampu menghafalnya karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan
diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam
menghafalnya.
Dan tidak diragukan lagi bahwa
adanya perbedaan ini hanyalah terjadi pada masa awal saja, kemudian ijma’ kamu
muslimin sepakat membolehkan penulisan tersebut. Ibnu Ash-Shalah berkata, “Lalu
hilanglah perbedaan, dan kaum muslimin sepakat untuk membolehkannya. Kalaulah
tidak dibukukan dalam bentuk tulisan, tentu hadits itu akan lenyap pada
masa-masa berikutnya.”
Pembukuan berbeda dengan
penulisan. Seseorang yang menulis sebuah shahifah (lembaran) atau lebih disebut
dengan penulisan. Sedangkan pembukuan adalah mengumpulkan lembaran-lembaran
yang sudah tertulis dan yang dihafal, lalu menyusunnya sehingga menjadi sebuah
buku.
Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan
hadits telah dilakukan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal
yang mendorong untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan adalah:
- Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan
Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan serta
dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Dengan demikian dapat dibedakan
dengan jelas antara Al-Qur’an dengan hadits.
- Kekhawatiran akan hilangnya hadits karena
ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab semakin melemah, sedangkan para
ulama telah menyebar dibeberapa penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan
kekuasaan negeri Islam.
- Munculnya pemalsuan hadits akibat
perselisihan politik dan madzhab setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya
kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan pengikut Mu’awiyah, serta Khawarij yang
keluar dari keduanya. Masing-masing golongan berusaha memperkuat madzhab-nya
dengan cara menafsirkan Al-Qur’an dengan makna yang bukan sebenarnya.
Akan tetapi, upaya pengumpulan ini
belum menyeluruh dan sempurna karena Umar bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu
Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadits kepadanya. Para ahli hadits
memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan
hadits. Mereka mengatakan, “Pembukuan hadits ini terjadi pada penghujung tahun
ke 100 pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya.”
Adapun upaya pembukuan yang
sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang
menyambut seruan Umar bin Abdul Aziz dengan tulus yang didasari karena
kecintaan pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keinginannya
untuk melakukan pengumpulan.
Pembukuan hadits pada mulanya
belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutaan bab-bab
pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh ulama-ulama
setelah Az-Zuhri dengan metode yang berbeda-beda. Kemudian para ulama hadits
menyusunnya secara sistematis dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan
berdasarkan bab.
Ibnu Hajar berkata, “Orang yang
pertama melakukan demikian itu adalah Ar-Rabi’ bin Shubaih (wafat 16 H) dan
Said bin Abi Arubah (wafat 156 H) hingga kepada para ulama thabaqah (lapisan)
ketiga (dari kalangan tabi’in). Imam Malik menyusun Al-Muwatha’ di Madinah,
Abdullah bin Juraij di Makkah, Al-Auza’I di Syam, Sufyan At-Tsauri di Kufah,
Hamad bin Salamah bin Dinar di Basrah.”
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini
sudah dicetak antara lain:
a. Al-Muwatha’ karya Imam Malik bin Anas
b. Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin Hammam Ash-Shan’ani
c. As-Sunan karya Said bin Mansur
d. Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu
Syaibah
Karya-karya tersebut tidak hanya
terbatas pada kumpulan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
akan tetapi bercampur antara hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi’in. Kemudian ulama pada periode
berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian As Sunnah
As Sunnah menurut bahasa adalah
thariq (jalan) dan sirah (sejarah hidup) [Lihat An Nihayah Ibnu Atsir (2/409),
Lisanul ‘Arab (17/89)]. Para Ulama bahasa berselisih pendapat; apakah menurut
bahasa pengertian As Sunnah itu hanya terbatas jalan yang baik (thariq hasanah)
ataukah mencakup jalan yang baik maupun yang buruk? Yang benar ialah bahwa
menurut bahasa, As Sunnah adalah thariq (jalan) yang baik maupun yang buruk. Di
antara hal-hal yang menunjukan pengertian ini adalah hadits Nabi
Shalallahu’alaihi wa salam.
Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari
ayahnya Jarir bin Abdillah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ
سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ
سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ
بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah
dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang
mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka
sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia
mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut
setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”
Hadits yang mulia di atas
diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan
At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359,
360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.
(Yakni), ketika Nabi shalallahu’alaihi wa
salam membagi sunnah itu menjadi dua, yang baik (sunnah hasanah) dan yang buruk
(sunnah sayyi-ah).
Adapun pengertian As Sunnah
menurut istilah, ada istilah menurut ahli hadits (muhaddits), sebagaimana
halnya ada istilah menurut ahli ushul fiqih dan ahli fiqih. Menurut para
muhadditsin, As Sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi shalallahu’alaihi
wa salam, baik ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir) dan sifat (budi pekerti
maupun perawakan) beliau, serta sejarah hidup beliau, baik sebelum maupun
sesudah beliau diutus [Lihat Qawaidut Tahdits Al Qasimi (hal 64)].
Sedangkan menurut ahli ushul, As
Sunnah dimutlakkan kepada semua yang dinukil dari Nabi shalallahu’alaihi wa
salam, dari hal-hal yang tidak dinashkan dari Beliau shalallahu’alaihi wa
salam, baik sebagai keterangan terhadap apa yang ada dalam Al Kitab atau tidak
[Lihat Ushul Ahkam Al Amidi (1/169)].
[1]As Sunnah dalam istilah ahli
fiqih, dimutlakalan kepada semua hal yang bukan wajib. Maka jika dikatakan
bahwa perkara ini sunnah, artinya (perkara tersebut) bukan fardlu dan bukan
pula wajib, tidak haram serta tidak pula makruh [Lihat Syarhul Kawkabul Munir
(2/160)].
Akan tetapi As Sunnah menurut
kebanyakan salaf lebih luas dari pada itu. Karena yang mereka maksud dengan As
Sunnah adalah ma’na yang lebih luas daripada yang dipaparkan para muhaddits,
ahli ushul dan ahli fiqih. Sebab As Sunnah yang dimaksud adalah kesesuaian
dengan Al Kitab (Al Qur’an). Sedang sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa
salam serta para sahabatnya adalah sama dalam masalah ‘aqidah maupun ibadah.
Lawannya adalah bid’ah.
Sehingga bila dikatakan si Fulan di
atas As Sunnah, jika amalannya sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah
shalallahu’alaihi wa salam. Lalu bila dikatakan si Fulan di atas bid’ah, jika
amalannya menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah atau salah satunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, ”Adapun lafaz As Sunnah dalam perkataan salaf, mencakup sunnah
dalam masalah ibadah dan I’tiqad, meskipun kebanyakan yang menyusun tulisan
tentang As Sunnah mengkhususkan pembahasannya dalam bidang I’tiqad" [Lihat
Al Amr bin Ma’ruf wan Nahyu ‘Anil Munkar (hal 77)]
Beliau rahimahullah mengatakan
dalam Al Hamawiyah, ”As Sunnah adalah semua yang Nabi shalallahu’alaihi wa
salam berada diatasnya, baik I’tiqad, Iqtishad, ucapan maupun perbuatan"
[Al Hamawiyah hal 2]
Ibnu Rajab rahimahullah
mengatakan, ”Banyak ‘ulama yang belakangan mengkhususkan As Sunnah kepada
hal-hal yang berkaitan dengan I’tiqad; karena dia adalah pokok agama ini.
Sedangkan yang menyelisihinya berada dalam bahaya yang besar" [Lihat
Jami’ul Ulum wal Hikam (hal 249). Sebab itulah banyak tulisan tentang makna ini
dengan istilah As Sunnah, misalnya As Sunnah karya Imam Ahmad, As Sunnah karya
Abu Dawud As Sijistani, As Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim ‘Abdullah bin Imam
Ahmad, dan As Sunnah karya Ibnu Abi Hatim Ar Razi, dan selainnya]
Aku (Syaikh Abdussalam bin Salim
As Suhaimi) katakan: As Sunnah, jika disebut secara mutlak dalam masalah
‘aqidah, yang dimaksud adalah dien (ajaran Islam) yang sempurna, bukan
sebagaimana di istilahkan oleh ‘ulama ahli hadits, ahli ushul maupun fiqih.
Ibnu Rajab rahimahullah juga
mengatakan, "As Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya
adalah berpegang dengan semua yang Nabi shalallahu’alaihi wa salam dan para
Khulafa’ur rasyidin berada diatasnya, baik I’tiqad, amalan, maupun ucapan.”
[Lihat Ibid (hal 262)]
Al-Hadits adalah segala perkataan
(sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang
dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber
hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini,
kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan
wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi
Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu
Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Yang dimaksud As-Sunnah adalah
Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa
perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan
para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini.
Sudah menjadi kesepakatan seluruh
kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam
syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang
berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan
lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad
maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata,
“Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul
menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah
“Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di
atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan wasiat
sekaligus jalan keluarnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ
بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang
hidup sepeninggalku nanti niscaya akan melihat perselisihan yang begitu banyak
(dalam memahami agama ini). Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk berpegang
teguh dengan sunnahku (jalanku) dan sunnah Khulafa` Ar Rasyidin yang terbimbing.
Berpegang teguhlah dengannya. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian.”
(HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah, dan lainnya. Dari shahabat
Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu. Shohih, lihat Irwa`ul Ghalil, hadits
no. 2455)
a. HADITS QUDSI
Qudsi menurut bahasa dinisbatkan
pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya
pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada Dzat Allah Yang Maha Suci.
Sedangkan Hadits Qudsi menurut
istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah ta’ala.
Ada
dua bentuk periwayatan hadits qudsi :
Pertama, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda,”Seperti yang diriwayatkannya dari Allah ‘azza wa jalla”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam Shahihnya dari Abu Dzar radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan dari Allah, bahwasannya Allah
berfirman : “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan
dhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk kalian. Maka janganlah kamu
saling menganiaya di antara kalian”.
Kedua, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda,“Allah berfirman….”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda,“Allah ta’ala berfirman : Aku selalu dalam persangkaan
hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila dia mengingat-Ku. Maka jika dia
mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya”.
Perbedaan Antara Hadits Qudsi
dengan Al-Qur’an
Al-Qur’an itu lafadh dan maknanya
dari Allah, sedangkan hadits qudsi maknanya dari Allah dan lafadhnya dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Membaca Al-Qur’an termasuk ibadah
dan mendapatkan pahala, sedangkan membaca hadits qudsi bukanlah termasuk ibadah
dan tidak mendapat pahala.
Disyaratkan mutawatir dalam
periwayatan Al-Qur’an, sedangkan dalam hadits qudsi tidak disyaratkan
mutawatir.
b. HADITS SHAHIH
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih
ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil
lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan
dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi
hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1. Kandungan isinya tidak
bertentangan dengan Al-Qur'an.
2. Harus bersambung sanadnya
3. Diriwayatkan oleh orang / perawi
yang adil.
4. Diriwayatkan oleh orang yang
dhobit (kuat ingatannya)
5. Tidak syadz (tidak bertentangan
dengan hadits lain yang lebih shahih)
6. Tidak cacat walaupun tersembunyi.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
menanamkan kepada kita kecintaan kepada ilmu hadits, para ulama ahlul hadits,
dan orang-orang yang senantiasa berusaha meniti jejak mereka, menilai,
menimbang, memutuskan, dan mengembalikan segala permasalahan umat ini kepada
ahlinya, yaitu ulama ahlul hadits, sehingga ucapan dan amalan-amalan kita
terbimbing diatas ilmu.
2. Sejarah Singkat Penulisan dan
Pembukuan Hadits
Pada masa permulaan Al-Qur’an
masih diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menulis hadits
karena dikhawatirkan akan bercampur baur dengan penulisan Al-Qur’an. Pada masa
itu, disamping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Pelarangan penulisan hadits ini
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kamu menulis sesuatu dariku, dan
barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia
menghapusnya, dan ceritakan dariku, tidak ada keberatan (kamu ceritakan apa
yang kamu dengar dariku). Dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di dalam neraka.” (HR. Muslim)
Jumhur Ulama berpendapat bahwa
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang penulisan hadits
tersebut sudah dinasakh dengan hadits-hadits lain yang mengizinkannya antara
lain hadits yang disabdakan pada ‘amulfath (tahun. VIII H) yang berbunyi:
“Tulislah untuk Abu Syah”.
Demikian pula dengan hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Abdullah bin Amr yang menunjukkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkan menuliskan hadits.
Walaupun beberapa sahabat sudah
ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana
Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam
terdorong untuk membukukan hadits setelah Agama Islam tersiar di daerah-daerah
yang makin luas dan para sahabat terpencar di daerah-daerah yang berjauhan
bahkan banyak di antara mereka yang wafat.
Tatkala Umar bin Abdul Aziz menjadi
khalifah (tahun 99 s/d 101 H), beliau menginstruksikan kepada para Gubernur
agar menghimpun dan menulis hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Instruksi beliau mengenai penulisan hadits ini antara lain ditujukan kepada
Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm yang ketika itu menjabat sebagai
Gubernur Madinah.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam
kitabnya Dhuhal Islam, Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm tidak lagi
meneruskan penulisan hadits ini karena setelah khalifah wafat, dia tidak lagi
menjabat sebagai Gubernur.
Menurut pendapat yang populer di
kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta membukukannya
adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota
besar yang lain.
Penulisan dan pembukuan hadits Nabi
ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya,
sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab Al-Muwaththa’,
Kutubus Sittah dan lain sebagainya.
3. Kedudukan sunah dalam sistem hukum
Islam
Hukum Islam bertumpu dan bersumber
dari dua macam sumber hukum utama, yaitu Al-qur’an dan sunnah (Hadits). Al-qur’an
adalah kalamulloh yang diturunkan pada nabi Muhammad SAW. Lafadz-lafadznya
sebagai mukjizat dan membacanya merupakan suatu amal ibadah. Alloh SWT menurunkan
Al-qur’an kepada nabi Muhammad dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun.
Diturunkan melalui pengemban amanat wahyu (Jibril as) dengan lafadz-lafadz yang
asli dan diwahyukan kepada nabi Muhammad secara jelas ketika beliau terjaga
bukan pada waktu tidur, bukan ilham (bisikan pada jiwa) kemudian Al-qur’an
disampaikan kepada umatnya persis seperti apa yang diturunkan kepadanya. Adapun
isi Al-qur’an terdiri dari perintah Alloh, larangan Alloh dan cerita dari
Alloh.
Sedangkan sunnah dalam istilah
para ahli hadits ialah semua perkataan, perbuatan, persetujuan, cita-cita,
sifat-sifat atau keadaan akhlaq dan bentuk fisiknya. Yang dimaksud persetujuan
(takrir) ialah seseorang mengatakan suatu ucapan atau melakukan perbuatan
dihadapan Rosul dan beliau tidak mengingkarinya, atau perkataan dan perbuatan
itu tidak dikerjakan dihadapan beliau namun beritanya sampai kepada beliau dan
beliau tidak memberikan komentar, maka dengan tidak memberikan komentar dan
tidak ingkarnya itu merupakan persetujuan (takrir).
Fungsi hadits terhadap Al-qur’an
itu sendiri sebagai pensyarah, yaitu merinci hal-hal yang disebutkan secara
garis besar dalam Al-qur’an, memberikan pembatas ayat-ayat yang masih mutlak,
menentukan arti khusus ayat-ayat yang masih umum, menjelaskan ayat-ayat yang pelik
dan menguraikan ayat-ayat atau hal-hal yang dikemukakan secara ringkas. Nabi
dalam memberikan penjelasan mengenai Al-qur’an terkadang dengan ucapan,
perbuatan, terkadang dengan kedua-duanya, salah satu contoh :
Di dalam Al-qur’an tidak ada penjelasan
tentang jumlah, bilangan, bacaan, tata cara sholat, kemudian sunnahlah yang
menjelaskannya.
Juga di dalam Al-qur’an tidak dijelaskan
tentan kapan zakat itu diwajibkan, berapa nishobnya, berapa banyaknya yang
harus dikeluarkan zakatnya, maka sunnahlah yang menerangkan secara rinci
tentang hal itu dan masih banyak lagi contoh-contoh lain yang kita temui.
Mengingat pentingnya hadits
(sunnah) dalam syariat Islam dan fungsinya terhadap Al-qur’an para sahabat
sangat memberikan perhatian terhadap hadits-hadits Nabi dan berusaha keras
untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap Al-qur’an. Mereka
menghafalkan lafadz-lafadz hadits dan maknanya, memahami dan mengetahui maksud
dan tujuannya, juga mengamalkan isi dari sunnah tersebut, termasuk mereka tahu berapa
besar pahala dari menyampaikan sunnah dari Rosululloh. Oleh karena itu tidaklah
heran mereka bersungguh-sungguh menyampaikan hadits (sunnah) yang mereka
terima, karena mereka yakin bahwa hadits (sunnah) itu merupakan ajaran agama
yang wajib disampaikan kepada segenap manusia dan syariat universal yang abadi.
4. Penulisan hadits zaman Rosululloh
dan sesudahnya
Di masa Rosululloh masih hidup,
hadits belum dibukukan, dalam arti umum seperti Al-qur’an. Hal ini disebabkan
oleh dua faktor, yaitu:
1. Para sahabat berpegang pada kekuatan
hafalan dan kecerdasan akal mereka, disamping tidak lengkapnya peralatan tulis
menulis yang mereka miliki.
2.
Adanya larangan menulis hadits, Rosululloh bersabda: “Janganlah kalian menulis
sesuatu apapun (yang kamu terima dariku) selain Al-qur’an, barang siapa yang
telah menulis sesuatu selain Al-qur’an hendaklah dihapus”. (HR Muslim)
Larangan menulis hadits itu karena
dikhawatirkan akan tercampurnya hadits dengan Al-qu’an atau penulisan hadits
itu akan melalaikan mereka dari Al-qur’an. Atau larangan penulisan hadits itu
ditujukan kepada orang-orang yang dipercaya kekuatan hafalannya. Tetapi bagi
mereka yang tidak lagi dikhawatirkan bahwa sunnah dengan Al-qur’an akan
tercampur aduk, seperti mereka yang pandai baca tulis atau karena mereka
khawatir lupa akan penulisan hadits itu diperbolehkan, dan dalam pengertian
inilah menurut beberapa riwayat penulisan hadits bagi sebagian sahabat itu
diijinkan.
Tidak berselang lama setelah
Rosululloh berpulang kehadirat Alloh, para penulis hadits dari kalangan sahabat
maupun tabi’in bermunculan. Khalifah Umar bin Khattab r.a. pernah bermaksud
membukukan hadits, beliau mengumpulkan para sahabat lainnya dan mereka sepakat
untuk membukukan tetapi nampaknya Alloh belum menghendaki ide Khalifah Umar
terlaksana. Baru setelah kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (tahu 99 H) beliau
mengintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (dia adalah ahli
fiqih dari kalangan tabi’in yang diangkat oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai
gubernur dan qodi (juru hukum) di Madinah wafat pada tahun 120 H)
Selain Ibnu Hazm adalah Imam
Muhammad bin Muslim bin Shihab Az-Zuhri (ulama terkemuka di Hijaz dan Syam,
wafat pada 124 H). Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengintruksikan pembukuan
karena merasa khawatir hilang dan lenyapnya hadits (sunnah) karena banyak
sahabat yang telah meninggal atau karena khawatir tercampurnya antara hadits
asli dan hadits bathil. Karena pada masa itu telah meluas dan dianut berbagai
ras suku bangsa dan berbagai kepentingan dalam memeluk agama Islam, disamping
itu bermunculan kelompok Atheis yang ingin menghancurkan agama Islam dengan
membuat hadits palsu yang menyesatkan demi mengukung kepentingan mereka.
Setelah generasi (tabaqah) A-Zuhri
dan Abu Bakar ibnu Hazm berlalu, muncullah generasi berikutnya yang
berlomba-lomba membukukan hadits. Tercatat sebagai ulama yang menulis hadits,
antara lain ialah :
1. Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz
bin Juraij, wafat tahun 150 H di Mekah
2.
Ma’mar bin Rasyid, wafat tahun 153 di Yaman
3. Abu
Amr Abdur Rahman al Azwa’i, wafat tahun 156 H di Syam
4.
Sa’id bin Abi Arubah, wafat tahun 151 H
5.
Rabi’ bin Sabih, wafat tahun 160 H
6.
Hammad bin Abi Salamah, wafat tahun 176 H di Basrah
7.
Muhammad bin Ishak wafat tahun151 H
8.
Imam Malik bin Anas, wafat tahun 179 H di Madinah
9. Abu
Abdullah Sufyan as Sauri, wafat 161 H di Kuffah
10.
Abdullah bin Mubarak, wafat 181 H di Khurasan
11.
Hasyim bin Basyir, wafat tahun 188 H di Wasit
12.
Jarir bin Abdul Hamid. Wafat tahun 188 H
13. Al
Lais bin Sa’d, wafat tahun 175 H di Mesir
Pada masa ini pembukuan hadits
masih campur aduk antara hadits dengan pendapat sahabat dan fatwa tabi’in tapi
sayang karya-karya zaman itu hanya karya Imam Malik Muwattho yang kita jumpai,
yang lain masih berupa manuskrip yang bertebaran di berbagai perpustakan,
itupun di perpustakaan barat. Tragedi dan serangan keji yang menimpa negeri
Islam seperti penyerbuan dan perampasan pasukan Tartar dan tentara salib
merupakan penyebab hilangnya hadits yang telah dibukukan itu.
Zaman keemasan pembukuan hadits
yaitu pada tahun 200-300 H. Pada abad ini hanya pembukuan hadits rosululloh
saja bahkan ada yang menghimpun kitab musnad dan sebagian penyusun hadits yang
dalam susunannya mengklasifikasikan sahabat menurut kronologi keislamannya
(masuk Islamnya). Ulama terbaik yang menyusun kitab ini adalah Ahmad bin
Hambal.
Pengarang lainnya yang mengikuti
sistem musnad ini mengklasifikasikan sahabat berdasarkan abjad nama. Mereka
memulai dengan sahabat yang huruf pertama namanya huruf “alif”, huruf “ba” dan
seterusnya.
Pada masa itu ulama terbaik yang
menyusun berdasarkan cara demikian ialah Imam Abul Qosim at Tabrani (wafat 260
H) dalam kitabnya Al Mu’jamul Kabir. Ulama lainnya yang juga menyusun hadist
dengan sistem musnad ini ialah Ishak bin Rawahaih (wafat 238 H), Utsman bin Abi
Syaibah (wafat 239 H), Ya’qub ibnu Abi Syaibah (wafat 263 H) dan lain-lain.
Di samping itu pada masa ini ada
juga ulama yang menyusun kitabnya menurut sistematika bab fiqih dan sebagainya.
Ia memulai penysusunannya dengan kitab sholat, zakat, puasa, haji, lalu bab
gadaian dan seterusnya. Para ulama penulis dengan sistem ini pun di antaranya
ada yang :
1. Membatasi kitab-kitabnya dengan hanya
memuat hadits shohih semata, seperti Imam Bukhari dan Muslim
2.
Tidak membatasi kitabnya dengan hanya memuat hadits shohih semata, tetapi ia
memasukkan pula hadits shohih dan hasan, bahkan hadits da’if sekalipun.
Sewaktu-waktu terkadang mereka menerangkan pula nilai-nilai hadits yang
dimuatnya itu. Namun pada saat yang lain, mereka tidak menjelaskannya. Hal ini
karena mereka telah merasa cukup dengan hanya menyebutkan sanad hadits secara
lengkap dan menyerahkan sepenuhnya kepada para pembaca untuk mengkritik dan
meneliti sanad-sanad dan matannya, serta untuk membedakan antara hadits shohih,
hasan dan da’if. Tugas membedakan hadits ini bukanlah suatu pekerjaan yang
sulit bagi para pelajar hadits pada waktu itu terlebih lagi bagi para ulama.
Contoh utama bagi kitab hadits yang disusun menurut sistematika fiqih ini ialah
kitab-kitab yang disusun oleh para penghimpun sunan (hadits) yang keempat yaitu
Imam Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah.
Abad ketiga Hijriah ini merupakan
zaman keemasan dalam bidang sejarah (tarikh) hadits dan pengumpulannya. Pada
abad ini muncul sejumlah besar ulama kenamaan bidang hadits dan kritikus
hadits. Dan pada masa ini pulalah terbitnya sinar terang “Kutubus sittah” dan
kitab semisal yang memuat hampir semua kecuali sebagian hadits nabi dan yang
menjadi pegangan utama bagi para ahli fiqih, nujtahid, ulama dan pengarang.
Dalam kitab-kitab tersebut para pemimpin rohani, pembaharu, ahli pendidikan,
ahli moral, ahli jiwa dan sosial mendapatkan apa yang mereka perlukan.
5. PEMBUKUAN SUNNAH
Dimasa rasululloh SAW masih hidup, hadist belum dibukukan seperti
AL-Qur’an, hal ini disebabkan 2 faktor, yaitu :
1.
Kuatnya hapalan para sahabat & kecerdasan akal mereka, disamping
tidak lengkapnya alat² tulis pada zaman itu.
2.
Larangan dari rasululloh SAW, “ janganlah kamu menulis sesuatu yang kamu
terima dariku, selain Al-Qur’an, barang siapa yang telah menulis sesuatu selain
Al-Qur’an hendaklah dihapus. “ (HR. Muslim)
Adanya Nabi memberikan larnagan seperti itu
mengandung 3 pengertian :
·
Adanya sebuah kekhawatiran akan tercampurnya antara hadist dengan
Al-Qur’an, atau
·
Kekhawatiran Nabi bahwa dengan penulisan hadist itu akan membuat mereka
lalai terhadap Al-Qur’an, atau
·
Larangan itu ditujukan kepada orang² yang dipercaya kekuatan hafalannya.
Tapi bagi mereka yang tidak lagi
dikhawatirkan bahwa sunnah/hadist dapat tercampur
aduk dengan Al-Qur’an, seperti mereka yang
pandai baca tulis atau karena mereka takut lupa akan penulisan hadist maka
penulisan hadist/sunnah itu diperbolehkan.
Tidak berselang lama setelah Rasululloh berpulang kehadirat Allah, para
penulis hadist dari kalangan sahabat maupun tabiin bermunculan. Pada masa
kekhalifaan Uman bin Khatab r.a muncul usulan dari Umar untuk membukukan
hadist, beliau mengumpulkanp ara sahabat lainnya dan mereka sepakat untuk
membukukan hadist. Namun, rupanya Allah belum menghendaki hal tersebut,
khalifah Umar bin Khatab r.a berpulang kehadirat Allah sebelum bisa memenuhi
keinginannya tersebut.
Pembukuan hadist baru bisa terlaksana setelah kekhalifaan Umar bin Abdul
Azis (tahun 99 H). Beliau menginstruksikan pembukuan hadist pada 2 orang yaitu
:
-
Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm, dia adalah seorang ahli fiqih
dari kalangan tabi’in yang diangkat oleh Umar bin Abdul Azis sebagai gubernur
dan godi (juru hukum) di Madinah, dan wafat pada 120 H.
-
Imam Muhammad bin Muslim bin Shihab Az-Zuhri, dia adalah ulama terkemuka
di Hijaz dan Syam, dan wafat pada 124 H.
Setelah generasi Abu Bakar Ibnu Hazm &
Az-Zuhri berlalu muncullah generasi
berikutnya yang berlomba-lomba membukukan
hadist. Namun pada masa ini, pembukuan hadist masih campur aduk antara hadist
dengan pendapat sahabata dan fatwa tabi’in. Sayangnya karya² zaman itu hanya
karya Imam Malik “ Muwattho “ yang kita jumpai, sedangkan yang lain masih
berupa manuskrip yang bertebaran di berbagai perpustakaan, itu pun di
perpustakaan barat akibat adanya perang salib yang menimpa negeri Islam pada
masa itu.
Zaman keemasan pembukuan hadist yaitu pada tahun 200-300 H, pada masa
ini hanya pembukuan hadist rasulullah saja bahakan ada yang menghimpun kitab
musnad & sebagian penyusun hadist
yang dalam susunannya mengklasifikasikan sahabt menurut kronologi keislamannya
(masuk Islamnya), ulama terbaik yang menyususn kitab ini adalah Ahmad bin
Hanbal
Pengarang lainnya yang mengikuti system Musnad ini mengklasifikasikan
sahabat berdasarkan abjad nama. Mereka memulai dengan sahabat yang inisial
namanya dimulai huruf alif & seterusnya. Ulama terbaik yang menyusun
berdasarkan cara ini ialah Imam Abdul Qasim at-Tabrani (wafat 260 H) dalam
kitabnya Al-Mujamul Kabir.
Disamping itu ada juga ulama yang menyusun kitabnya menurut sistematika
bab fikih, dsb. Ia memulai penyusunannya dengan kitab sholat, zakat, puasa,
haji lalu bab gadaian dst.
Para penulis dengan system fikih ini pun, diantaranya ada yang :
-
Membatasi kitab²nya dengan hanya membuat hadist shohih semata, seperti
Imam Bukhori dan Muslim
-
Tidak membatasi kitabnya, bukan hanya hadist shohih saja tapi juga
Hasan, bahkan da’if sekalipun. Terkadang mereka menerangkan pula nilai² hadist
yang dimuatnya, dan terkadang juga tidak. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada
para pembaca untuk mengkritik & meneliti sanad² serta matannya, lalu
membedakan hadist shahih, hasan dan da’if. Contoh : Imam Abu Dawud, Tirmidzi,
Nasa’I dan Ibnu Majjah.
Tahun ke- 300 H ini merupakan zaman keemasan
dalam bidang sejarah (tarikh)
hadist & pengumpulannya. Pada tahun ini
muncul sejumlah besar ulama terkenal bidang hadist & kritikus hadist.
6. Pentadwinan
(Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah
Penyampaian hadits dilakukan
dengan sangat hati-hati, karena menyangkut masalah-masalah agama. Hal ini
sengaja dilakukan demi menjaga apabila dalam penyampaiannya terjadi kesalahan.
Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zubair, “Mereka yang kuat ingatannya telah
menyampaikan hadits tanpa ada kesalahan, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud dan
Abu Hurairah.”
As-Sunnah disalin dengan sangat
hati-hati, baik dengan jalan hafalan maupun tulisan. Hal ini telah berlangsung
sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan zaman para Shahabat sampai
akhir abad pertama, hingga kemudian lembaran-lembaran yang berisikan
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dikumpulkan pada masa
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Di mana ia memerintahkan Abu Bakar bin Muhammad bin
‘Amr bin Hazm untuk menulis dan mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sejak itu pula dimulai ilmu periwayatan
hadits. Kata khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz kepada Abu Bakar bin Muhammad,
“Perhatikanlah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu tulislah
hadits-hadits itu, karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu dengan
wafatnya para ulama, dan janganlah diterima melainkan hadits Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam saja.” [1]
Setelah Abu Bakar bin Muhammad
menerima perintah khalifah, ia pun memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri, seorang
ulama besar dan pemuka ahli hadits, untuk mengumpulkan hadits Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam secara resmi.
Tentang adanya periwayatan hadits, memang
telah ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dalam
salah satu sabdanya:
تَسْمَعُوْنَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ
مِنْكُمْ.
“Sekarang kalian mendengar, dan kalian nanti
akan didengar, dan akan didengar pula dari orang yang mendengar dari kalian.”
[2]
Maksudnya, para Shahabat mendengar
hadits-hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, melihat perbuatan-perbuatan
beliau, sifat-sifat beliau, dan segala perbuatan yang ditaqrir oleh beliau,
kemudian para Shahabat meriwayatkannya (sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam wafat), riwayat para Shahabat akan didengar, diperlihatkan, dan dicatat
oleh para Tabi'in. Begitu selanjutnya, para Tabi'in yang mendengar hadits dari
para Shahabat akan meriwayatkan lagi, yang juga akan didengar dan dicatat oleh
Tabi’ut Tabi’in. Bagai roda yang terus berputar, hadits-hadits Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam akan senantiasa diriwayatkan, diperlihatkan, didengar dan
dicatat oleh imam pencatat hadits dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Malik,
Ahmad, asy-Syafi’i, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan yang lainnya.
Kitab-kitab mereka ini terpelihara dengan baik dari zaman ke zaman yang
akhirnya sampai kepada kita dan insya Allah terus terpelihara hingga akhir
zaman.
Kemudian setelah thabaqah Abu
Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm (wafat th. 117 H) dan Muhammad bin Muslim
bin Syihab az-Zuhri (wafat th. 124 H), datanglah thabaqah kedua dengan
pendiwanan (pembukuan) yang dilakukan secara resmi pula. Mereka ini terdiri
dari ulama-ulama besar dan pemuka-pemuka ahli Hadits, di antaranya ialah:
1.
Ibnu Juraij di Makkah
2.
Sa'id bin Arubah
3.
Al-Auza’i di Syam
4.
Sufyan ats-Tsauri di Kufah
5.
Imam Malik bin Anas di Madinah
6.
‘Abdullah Ibnul Mubarak
7.
Hammad bin Salamah di Bashrah
8.
Husyaim
9.
Imam asy-Syafi'i
Mereka ini semuanya dari generasi
Tabi'ut Tabi’in yang hidup pada zaman kedua Hijriyah. Cara pengumpulannya masih
bercampur dengan perkataan-perkataan Shahabat dan fatwa-fatwa Tabi'in. Di
antara kitab-kitab hadits yang paling masyhur pada abad ini ialah kitab
al-Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik bin Anas. Kemudian pada permulaan
abad ketiga Hijriyah, bangkit kembali pemuka-pemuka ahli hadits yang membukukan
hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara resmi. Dalam
pengumpulan kali ini mereka menempuh dua cara, yaitu:
Pertama : Khusus mengumpulkan hadits-hadits
yang shahih saja. Orang yang pertama kali mengumpulkannya ialah:
• Imam
al-Bukhari (Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, lahir th. 194 H - wafat th. 256 H)
• Imam
Muslim (Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, lahir th. 204 H - wafat th. 261 H)
Kedua
: Hanya mengumpulkan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja
tanpa membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak. Dalam kitab-kitab mereka
ini terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan dha’if, bahkan ada pula yang
maudhu' (palsu). Kitab-kitab yang masyhur pada abad ketiga Hijriyah, antara
lain :
1.
Musnad Ahmad bin Hanbal (164 - 241 H)
2.
Shahih al-Bukhari (194 - 256 H)
3.
Shahih Muslim (204 - 261 H)
4.
Sunan Abu Dawud (202 – 275 H)
5.
Sunan ad-Darimi (181 – 255 H)
6.
Sunan Ibni Majah (209 - 273 H)
7.
Sunan an-Nasa-i (225 - 303 H)
Sedangkan kitab-kitab yang masyhur pada abad
keempat Hijriyah, antara lain:
1.
Shahih Ibnu Khuzaimah (223 - 311 H)
2.
Mu'jamul Kabir, Mu'jamul Ausath, dan Mu'jamush Shaghir, yang disusun oleh
ath-Thabrani (260-340 H)
3.
Sunan ad-Daraquthni (306 - 385 H)
4.
Al-Mustadrak al-Hakim (321 - 405 H)
Manuskrip-manuskrip para ulama ini
terpelihara dengan rapi di berbagai perpustakaan dunia Islam. Kitab-kitab
tersebut disalin dan dicetak ulang hingga tersebar ke berbagai pelosok dunia
Islam. Kemudian kitab-kitab itu disyarah lagi oleh para ulama, ditahqiq, dan
diringkas sanadnya.
Demikianlah mata rantai yang tiada
putus-putusnya dari rawi ke rawi terjaga dengan baik. Oleh karena itu, sudah
semestinya kita mempercayainya. Walaupun ada orang-orang yang mencoba untuk
membuat riwayat-riwayat palsu. Tapi para ulama telah membahas dan meneliti
serta menerangkan dengan jelas dalam kitab-kitab khusus yang membahas tentang
hadits-hadits dha'if dan palsu, sehingga dengan demikian tidak menimbulkan
keraguan lagi dalam menerima hadits-hadits yang benar-benar berasal dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallaam.
Pada abad sekarang ini ada seorang
pakar hadits yang bernama Syaikh al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, beliau
telah menyeleksi kitab-kitab Sunan dari Kutubus Sab’ah dengan membedakan antar
yang shahih dan yang dha'if, kitab-kitab ini sudah dicetak. Di antaranya:
1.
Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Dha'if S Sunan at-Tirmidzi,
2.
Shahih Sunan Abi Dawud dan Dha'if Sunan Abi Dawud,
3.
Shahih Sunan an-Nasa-i dan Dha'if Sunan an-Nasa-i,
4.
Shahih Sunan Ibni Majah dan Dha'if Sunan Ibni Majah,
5.
Shahih al-Adabul Mufrad dan Dha’if al-Adabul Mufrad,
6.
Shahih Mawariduzh Zham’an dan Dha’if-nya,
7.
Shahih at-Targhib wat Tarhib dan Dha’if-nya, dan kitab-kitab yang lainnya.
Bila mata rantai yang tiada
putusnya dari zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Shahabat,
Tabi'in, Tabi’ut Tabi'in dalam penulisan hadits dan pembukuannya masih
diragukan, maka orang yang meragukan adalah orang-orang yang zindiq, kufur, dan
termasuk orang-orang yang paling bodoh di dunia tentang As-Sunnah, bahkan
dihukumi keluar dari Islam. Dihukumi kafir karena dia telah menolak
hujjah-hujjah As-Sunnah dan meragukan kebenaran yang datang dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
7. Bantahan dan Tanggapan Dalil
Keempat
Dua
riwayat yang dibawakan penentang As-Sunnah adalah lemah :
1.
Riwayat pertama dengan periwayat Thabrani dalam kitab Mu'jamul Kabir dari jalan
‘Ali bin Sa'id ar-Razy, dari az-Zubair bin Muhammad az-Zubair ar-Rahawi, dari
Qatadah bin al-Fudhail, dari Abi Hadhir, dari al-Wadhiin, dari Salim bin
‘Abdillah dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
Sanad
pada hadits ini lemah, karena ada beberapa 'illatnya :
a.
Al-Wadhiin bin ‘Atha’ jelek hafalannya
b.
Qatadah bin al-Fudhail, kata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, “Bisa diterima
kalau ada mutabi’nya.”
c. Abi
Hadhir tersebut lemah
2.
Riwayat kedua dengan riwayat ad-Daraquthni dan al-Khatib
Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dari jalan
Yahya bin Adam, dari Ibnu Abi Dzi'bin, dari Sa’id bin Abi Sa'id al-Makburi,
dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Abu Hatim ar-Razi dan Imam
al-Bukhari menerangkan dalam tarikhul Kabir bahwa Ibnu Thuhman dari Ibnu Abi
Dzi'bin dari Sa'id al-Makburi, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia
menyebutkan hadits di atas, Yahya berkata, “Dari Abu Hurairah.” Ini adalah satu
kekeliruan, sebenarnya tidak ada penyebutan Abu Hurairah.
Jadi 'illat hadits di atas ialah
mursal, dan hadits mursal tidak bisa dijadikan hujjah. Kata Imam al-Baihaqi,
“Ada hadits yang semakna dengan ini, tapi semuanya lemah. Ibnu Khuzaimah
tentang kedudukan hadits ini mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat seorang
di Timur ataupun di Barat yang mengenal berita Ibnu Abi Dzi'bin selain Yahya
bin Adam. Dan tidak ada ulama hadits yang menetapkan hadits ini bersumber dari
Abu Hurairah. Sesungguhnya terdapat kesimpangsiuran pada Yahya bin Adam
mengenai sanad dan matannya, terdapat ikhtilaf yang banyak sehingga hadits ini
goncang. Ada yang menyebutkan namanya, sehingga hadits ini termasuk mursal.
Dengan demikian jelaslah bahwa
riwayat yang dijadikan pegangan para penentang dengan menggunakan hadits
sebagai hujjah ternyata tidak mempunyai dasar sama sekali, bahkan para pakar
hadits menyatakan bahwa dasar yang dijadikan untuk menentang As-Sunnah adalah
tidak kuat.
Mengingkari penggunaan As-Sunnah
sebagai hujjah dan anggapan bahwasanya Islam hanya memiliki sumber hanya dari
Al-Qur-an semata, tidak mungkin menjadi pendirian seorang muslim yang
benar-benar memahami agama Allah dan syari’at-Nya. Karena mengingkari As-Sunnah
berarti mengingkari Al-Qur-an, bukankah ba-nyak hukum syari’at yang ditetapkan
dalam As-Sunnah?
Pada umumnya, hukum-hukum yang
terdapat dalam Al-Qur-an hanyalah secara garis besar saja. Hal itu dibuktikan
bahwa kita tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an bahwa shalat itu lima waktu
sehari semalam. Atau apakah kita temukan jumlah raka'at shalat di dalamnya,
tentang nisab zakat, rincian ibadah haji, dan segala hukum mu'amalah dan
ibadah?
Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin
Sa'id bin Hazm (wafat th. 456 H), yang dikenal dengan Ibnu Hazm, berkata,
“Dapat kiranya kita mengajukan berbagai pertanyaan kepada orang yang rusak
pendiriannya, yang tidak mau menggunakan hadits sebagai hujjah. Di bagian
manakah ia dapat menemukan shalat Zhuhur empat rakaat dalam Al-Qur-an, cara
sujud, bacaan shalat, dan cara salam? Adakah penjelasan tentang berbagai
larangan bagi orang yang berpuasa, nishab zakat emas, perak, kambing, unta, dan
sapi?
Adakah aturan rinci tentang
pe-laksanaan ibadah haji, waktu wuquf di Arafah, cara melaksanakan shalat di
Muzdalifah, cara melempar jumrah, tata cara ihram, dan larangannya? Adakah
ketentuan tegas tentang balasan-balasan potong tangan bagi pencuri, larangan
kawin dengan saudara sepersusuan? Adakah hukum yang rinci tentang makanan dan
sembelihan yang diharamkan, sifat sembelihan dan binatang kurban? Adakah
rincian hukum pidana, ketetapan hukum thalaq (cerai), hukum jual beli, riba,
hukum perdata, sumpah dan hukum tahanan, umrah, shadaqah, dan semua ke-tentuan
fiqh lainnya?
Di dalam Al-Qur-an terdapat
ketentuan yang menyeluruh, yang apabila rinciannya kita abaikan, kita tidak
mungkin dapat melaksanakan isi Al-Qur-an. Untuk itu kita harus kembalikan
semuanya kepada apa yang telah diriwayatkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam hadits-hadits beliau. Sekalipun kesepakatan ulama yang berkenaan dengan
persoalan yang sederhana, haruslah didasarkan pada hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
aSekiranya masih ada orang yang
berpendirian bahwa hanya yang terdapat di dalam Al-Qur-an saja yang dijadikan
pegangan, maka menurut ijma' ulama orang tersebut telah kafir. Karena orang
yang berpendirian seperti itu, niscaya dia akan merasa cukup shalat satu
raka’at dari waktu terbit fajar hingga larut malam, dia tidak akan menemukan
dalam Al-Qur-an lebih dari sekedar perintah shalat.
Orang yang Inkar Sunnah adalah
kafir, musyrik, halal darah dan hartanya. Mereka sama halnya dengan tokoh
Rafidhah yang telah dihukumi kafir menurut ijma’ ummat Islam. Selain itu jika
ada orang yang hanya berpegang pada pendapat yang disepakati para imam saja,
dan meninggalkan setiap yang diperselisihkan padahal nash-nashnya ada, mereka
menurut ijma’ ulama termasuk orang fasik.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
As Sunnah menurut bahasa adalah
thariq (jalan) dan sirah (sejarah hidup) [Lihat An Nihayah Ibnu Atsir (2/409),
Lisanul ‘Arab (17/89)]. As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah
Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi
Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu
Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Yang dimaksud As-Sunnah adalah
Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa
perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan
para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini. Sudah menjadi
kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan
sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam
perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum,
politik, pendidikan dan lainnya.
Tidak boleh seorang pun melawan
As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di
akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada
hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka
gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang
(shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
DAFTAR
PUSTAKA
Blogger Comment
Facebook Comment