MAKALAH
METODOLOGI STUDI ISLAM
“MENGENAL TOKOH
FILOSOF MUSLIM”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Dosen Pengampu : Dra. Siti Nurjanah, M.Ag.
Di susun oleh :
XXXXXXXXXXXXXX
JURUSAN SYARIAH ( PBS )
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)JURAI SIWO METRO
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis hantarkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Islam pada masa kini” tepat pada waktunya.
Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada rekan-rekan, sahabat,
orang tua serta dosen pengampu yakni Dra. Siti Nurjanah, M.Ag, atas segala
bantuan berupa bimbingan maupun berupa dukungan dalam menyelesaikan makalah ini
dalam rangka memenuhi tugas mandiri yang diberikan oleh dosen yang
bersangkutan.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan sarannya dalam penyempurnaan
makalah mandiri ini. Semoga dengan adanya kritik dan saran yang diberikan,
makalah ini dapat lebih baik dari sebelunnya. Atas saran dan kritiknya penulis
ucapkan terima kasih.
Metro, November 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa secara umum studi Islam bertujuan
untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana
yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat hakiki, universal dan dinamis
serta eternal, untuk dihadapkan atau dipertemukan dengan budaya dan dunia
modern, agar mampu memberikan alternatif pemecahan permasalahan yang dihadapi
oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dengan tujuan
tersebut, maka studi Islam akan menggunakan cara pendekatan yang sekiranya
relevan, yang lebih bersifat multidisiplin, yaitu pendekatan kesejarahan,
kefilsafatan, dan pendekatan ilmiah. Namun demikian, sebagai yang telah
dikemukakan bahwa studi Islam ini adalah memadukan antara dua studi Islam yang
bersifat konvensional dengan studi Islam yang yang bersifat ilmiah, sehingga pendekatan
doktriner tidaklah dapat diabaikan.[1]
Melalui pendekatan filosofis, seseorang tidak
akan terjebak pada pengalaman agama yang formalistik, yakni mengamalkan agama
dengan susah payah, tetapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti,
yang mereka dapatkan dari pengalaman agama tersebut hanyalah pengkuan
formalistik.[2]
Pendekatan kefilsafatan yang dimaksudkan adalah melihat suatu permasalahan dari
sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan
itu dengan menggunakan metode analisis filsafat. Pada dasarnya filsafat adalah
berpikir untuk memecahkan masalah, atau mempertanyakan atau menjawab suatu
persoalan. Namun demikian, tidak semua berpikir untuk memecahkan dan menjawab
permasalahan disebut filsafat. Filsafat adalah berpikir secara sistematis,
radikal, dan universal.
Disamping itu filsafat mempunyai bidang (obyek
yang dipikirkan) sendiri, yaitu bidang atau permasalahan yang bersifat
filosofis, yakni bidang yang terletak di antara dunia ketuhanan yang gaib
dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata. Dengan filsafat bisa menjembatani
kesenjangan antara masalah-masalah yang bersifat keagamaan semata-mata (teologis)
dengan masalah yang bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan). Dalam cara
kerjanya, filsafat memerlukan bantuan, baik dari agama maupun ilmu pengetahuan.
Namun filsafat tidak mau menerima segala bentuk otoritas, baik dari agama
maupun ilmu pengetahuan. Filsafat selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan
segala sesuatu yang datang secara otoritatif itu, sehingga mendatangkan
pemahaman yang sebenar-benarnya, yang selanjutnya bisa mendatangkan
kebijaksanaan. Dan dengan pendekatan kefilsafatan yang demikian, akan bisa
menjembatani kesenjangan antara ajaran-ajaran agama Islam dengan ilmu
pengetahuan modern, sebagaimana yang sering kita pahami dan menggejala
dikalangan umat Islam selama ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat
Kata falsafah atau filsafat
dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab (فلسفة), yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan
berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia
= "kebijaksanaan"). Sehingga arti harfiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan”.[3]
Dalam bahasa arab dikenal
kata hikmah dan hakim, kata ini bisa diterjemahkan dengan arti
filsafat dan filosof. Kata hukkam al-islam bisa berarti falasifat
al-islam. Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh
manusia dengan melalui alat-alat tertentu, yaitu akal dan metode-metode
berfikirnya[4].
Di dalam surat al-Baqarah ayat 269 dinyatakan :
Allah
menganugerahkan al-hikmah kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar
telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah
yang dapat mengambil pelajaran.
Ditinjau dari segi terminologis, filsafat itu
mempunyai pengertian yang bermacam-macam tetapi memiliki intisari yang relatif
sama. Menurut Harun Nasution bahwa definisi filsafat itu memang bermacam-macam,
antara lain[5]:
Pengetahuan hikmah, Pengetahuan tentang prinsip atau dasar-dasar, Mencari
kebenaran, Membahas dasar-dasar dari apa yang dibahas, dan lain-lain.
Namun demikian dapat dikatakan bahwa intisari
filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak
terikat pada tradisi, dogma, dan sebagainya) dan dengan sedalam-dalamnya
sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan[6].
Dari berbagai pendapat tersebut dapat dipahami
bahwa istilah filsafat mengandung pengertian :
§ Sebagai aktivitas pikir murni, atau kegiatan
akal manusia dalam usaha untuk mengerti secara mendalam segala sesuatu
(kesemestaan). Pengertian filsafat disini ialah berfilsafat.
§ Sebagai produk kegiatan berfikir murni
tersebut. Jadi filsafat merupakan suatu wujud ”ilmu” sebagai hasil pemikiran
dan penyelidikan berfilsafat itu.
§ Sebagai suatu ilmu, filsafat merupakan “ilmu
istimewa” yang mencoba menjawab persoalan-persoalan yang belum/tidak dapat
dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena persoalan-persoalan tersebut ada di
luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa[7].
B.
Ajaran Islam
Mendorong Berfilsafat
Agama Islam memberi penghargaan yang tinggi
terhadap akal, tidak sedikit ayat-ayat al-qur’an yang menganjurkan dan
mendorong manusia supaya banyak berfikir dan menggunakan akalnya. Di dalam al-qur’an dijumpai
perkataan yang berakar dari kata ‘aql (akal) sebanyak 49 kali, yang
semuanya dalam bentuk kata kerja aktif, seperti, seperti ‘aqaluh; ta’qilun;
na’qli; ya’qiluha;dan ya’qilun[8]. Selain itu di dalam al-qur’an juga
terdapat sebutan-sebutan yang member sifat berfikir bagi seorang muslim, yaitu
:
a. Ulul albab (orang yang berpikiran), seperi dalam QS. Yusuf ayat 111
b. ‘Ulu al ‘ilm (orang yang berilmu), seperi dalam QS. Ali imran ayat 18,
c. ‘Ulu al-abshar (orang yang mempunyai pandangan), seperi dalam QS. An-nur
ayat 44
Semua bentuk ayat-ayat tersebut mengandung
anjuran, dorongan bahkan perintah agar menusia banyak berfikir dan menggunakan
akalnya. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam menganjurkan, mendorong dan
bahkan memerintah kepada pemeluknya supaya berfilsafat[10].
C.
Masuknya
Filsafat Yunani Ke Dunia Islam
Filsafat, terutama
Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 SM. Filsafat
muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam,
dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada (agama)
lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini[11].
Sekitar abad VI SM di Yunani kuno telah lahir beberapa tokoh pemikir masyhur, seperti Thales (640 SM), filosof pertama yang lahir di Miletus.
Kemudian disusul dengan Anaximender, Anaximenes, dan Heraclitos yang hidup
sekitar tahun 500 SM[12].
Perkembangan pemikiran Yunani telah mencapai puncaknya pada sekitar tahun
500-300 SM, yakni sejak munculnya Socrates yang lahir di Athena pada tahun 470
SM. Diteruskan oleh Plato, yang hidup pada tahun 427-347 SM, salah seorang
murid dari Socrates adalah sekaligus murid dari Aristoteles[13].
Sebenarnya masuknya filsafat Yunani ke dalam
dunia Islam terjadi secara tidak sengaja, dalam arti bahwa umat Islam tidak
sengaja mencari filsafat yunani untuk dipelajari dan kegiatan terjemahan.
Secara umum, penerjemahan filsafat Yunani kedalam Islam terbagi dalam dua
tahapan utama yaitu: pertama, penerjemahan secara tidak langsung, dalam
arti filsafat Yunani diterjemahkan dalam bahasa arab melalui tangan kedua,
yaitu dibawah pengaruh Plotinus, Suriah, dan dari tangan-tangan para filosof di
Yundi Shapur. Tahap kedua, setelah para ahli atau pemikir islam mengenal
filsafat Yunani lewat penerjemahan
tersebut[14].
D.
Filsafat Islam
Menyimak dari istilahnya, Filsafat Islam
terdiri dari gabungan dua kata yaitu kata Filsafat dan Islam. Kata filsafat
berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang
berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian secara lughawi filsafat
berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Selanjutnya kata Islam berasal dari
bahasa Arab aslama, yuslimu islaman yang bermakna patuh, tunduk,
berserah diri, serta memohon selamat dan sentosa. Kata tersebut berasal dari salima
yang berarti selamat, sentosa, aman dan damai. Kemudian Islam menjadi suatu
istilah atau nama diri (proper name) dari agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Allah kepada umat manusia melalui ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw[15].
1). Filsafat Islam: Sebuah Perdebatan Istilah
Sebutan Filsafat Islam, bukanlah sebutan yang
telah disepakati oleh para pengkaji filsafat Islam. Beberapa pernyataan itu
berkisar pada:
? Ada yang mengatakan bahwa filsafat dan Islam
adalah dua entitas yang berbeda dan bahkan sulit untuk disatukan, sehingga nama
filsafat Islam tidaklah cocok (oximoron). Mereka menawarkan istilah
“Filsafat Muslim”, karena para pendukungnya adalah para filosof muslim.
? Ada lagi yang lebih sreg menggunakan istilah
“Filsafat Arab”, karena merujuk pada karya-karya filosof muslim yang ditulis
dalam bahasa Arab[16].
Namun, banyak juga yang mendukung lahirnya
Filsafat Islam[17].
2).
Definisi Filsafat/Falsafah Menurut Para Filosof Muslim
o Abu Ya'qub Al-Kindi, dalam kitabnya Fi
Al-Falsafah Al-Ula, mendefinisikan falsafah adalah: "Pengetahuan
tentang realitas atau hakikat segala sesuatu sebatas yang memungkinkan bagi
manusia, karena sesungguhnya tujuan filosof secara teoritis adalah untuk
mencapai kebenaran dan secara praktis adalah bertingkah laku sesuai dengan
kebenaran"
o Ibn Sina, dalam kitab 'Uyun al-Hikmah
mendefinisikan Al-Hikmah (yang baginya sama dengan filsafat) adalah:
"Usaha untuk mencapai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi (tashawwur)
atas segala hal dan pembenaran (tashdiq) realitas-realitas teoritis dan
praktis berdasarkan ukuran kemampuan manusia"
o Ikhwan Al-Shafa, sekelompok pemikir Muslim Syi'ah
Isma'iliyyah yang memiliki tendensi ke arah tasawuf atau sufisme,
mereka menyatakan bahwa: "Permulaan falsafah adalah cinta pada ilmu,
pertengahannya adalah pengetahuan tentang realitas wujud sesuai ukuran
kemampuan manusia, dan pamungkasnya adalah kata dan perbuatan yang sesuai
dengan pengetahuan itu"
3). Definisi Filsafat Islam Menurut Pemerhati
Filsafat Islam,
Terdapat sejumlah definisi yang diberikan oleh
para pakar, yaitu:
§ Musa Asy'ari, mengatakan bahwa filsafat Islam
itu pada dasarnya merupakan pemikiran yang terus berkembang dan berubah. Dalam
kaitan ini, diperlukan pendekatan historis terhadap filsafat Islam yang tidak
hanya menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah
memahami proses dialektik pemikiran yang berkembang melalui kajian-kajian
tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman. Oleh karena
itu perlu dirumuskan prinsip-prinsip dasar filsafat Islam agar dunia pemikiran
Islam terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman[18].
§ Amin Abdullah, berpendapat bahwa Filsafat Islam
merupakan hasil proses panjang asimilasi dan akulturasi kebudayaan Islam dan
kebudayaan Yunani lewat karya-karya filosof Muslim, seperti al-Kindi,
al-Farabi, Ibn Miskawaih, Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd. Filsafat profetik
(kenabian), sebagai contoh, tidak dapat kita peroleh dari karya-karya
Yunani. Filsafat profetik adalah trade mark filsafat Islam. Juga
karya-karya Ibn Bajjah, Ibn Tufail adalah spesifik dan orisinal karya filosof
Muslim. Memang Al-quran membawa cara yang sama sekali baru untuk melihat Tuhan
dan Alam, dan juga membahas hukum-hukum yang tidak dapat diredusir dalam
filsafat Yunani.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas,
filsafat Islam dapat diketahui melalui lima cirinya sebagai berikut.
F Pertama, dilihat dari segi sifat dan coraknya,
filsafat Islam berdasar pada ajaran Islam yang bersumberkan Alquran dan Hadis[19].
F Kedua, dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya,
filsafat Islam mencakup pembahasan bidang fisika atau alam raya yang
selanjutnya disebut bidang kosmologi; masalah ketuhanan dan hal-hal lain yang
bersifat non materi, yang diselanjutnya disebut bidang metafisika; masalah
kehidupan di dunia, kehidupan di akhirat; masalah ilmu pengetahuan, kebudayaan
dan lain sebagainya; kecuali masalah zat Tuhan.
F Ketiga, dilihat dari segi datangnya, filsafat Islam
sejalan dengan perkembangan ajaran Islam itu sendiri, tepatnya ketiga bagian
dari ajaran Islam memerlukan penjelasan secara rasional dan filosofis.
F Keempat, dilihat dari segi yang mengembangkannya,
filsafat Islam dalam arti materi pemikiran filsafatnya, bukan kajian
sejarahnya, disajikan oleh orang-orang yang beragama Islam, seperti al-Kindi,
al-Farabi, Ibn Miskawaih, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Bajjah, Ibn
Tufail dan lain sebagainya.
F Kelima, dilihat dari segi kedudukannya, filsafat Islam
sejajar dengan bidang studi keislaman lainnya seperti fikih, ilmu kalam, tasawuf,
sejarah kebudayaan Islam dan pendidikan Islam.
E.
Mengenal
Tokoh-Tokoh Filosof Islam
Pengetahuan dibangun atas dasar pengenalan
indrawi dan dengan adanya kekuatan rasio. Akan tetapi, kebenaran indrawi dan
rasio belum menyentuh kebenaran esensinya (mahiyyah) yang tetap, karena
sifat-sifat yang indrawi berubah-ubah dan kondisinya pun berbeda-beda,
sedangkan fungsi esensi sesuatu ialah memgang
ciri-ciri substansinya yang pokok ketika terjadi perubahan keadan. Lalu,
kebenaran lahirlah yang indrawi dengan rohaniah yang esensi ditalitemalikan
atau dihubung-hubungkan dengan berbagia pendekatan[20].
Pencarian dilakukan oleh para filosof, tidak
terkecuali filosof muslim, hingga akhirnya lahirlah filsafat islam yang
dikembangkan oleh orang-orang muslim yang pada zamannya sangat gandrung kepada
filsafat. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Al-Kindi
(185-252 H/806-873 M)
Nama lengkapnya Abu Yusuf,
Ya’kub bin Ishak Al-Sabbah bin Imran bin Al-Asha’ath bin Kays Al-Kindi. Beliau
biasa disebut Ya’kub, lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kufah. Keturunan dari
suku Kays, dengan gelar Abu Yusuf (bapak dari anak yang bernama Yusuf)
nama orang tuanya Ishaq Ashshabbah, dan ayahnya menjabat gubernur di Kufah,
pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas. Nama
Al-Kindi adalah merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku, yaitu : Banu
Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah
selatan Jazirah Arab dan mereka ini mempunyai kebudayaan yang tinggi.[21]
Sebagai orang yang dilahirkan di kalangan para intelektual, maka pendidikan yang pertama-tama diterima adalah membaca Al-Qur’an, menulis, dan
berhitung. Disamping itu ia banyak mempelajari tentang sastra dan agama, juga
menerjemahkan beberapa buku Yunani di dalam bahasa Syiria kuno, dan bahasa
Arab. Al-Kindi mengarang buku-buku yang menganut keterangan Ibnu Al-Nadim buku
yang ditulisnya berjumlah 241 dalam bidang filsafat, logika, arithmatika,
astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, musik, matematika dan
sebagainya[22].
Al-Kindi
dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama yang
mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi
orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat
Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Mengenai filsafat dan agama, Al-Kindi berusaha mempertemukan amtara kedua
hal ini; Filsafat dan agama[23].
Salah satu
kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
Menurut al-Kindi, agama dan filsafat tidak
mungkin bertentangan. Agama di samping sebagai wahyu juga menggunakan akal, dan
filsafat juga menggunakan akal[24].
Jika terjadi pertentangan antara nalar logika dengan dalil-dalil agama dalam
al-Qur`an, mestinya ditempuh dengan jalan ta`wīl (interpretasi,
kontekstualisasi, atau rasionalisasi atas teks-teks keagamaan). Hal ini karena
dalam bahasa (termasuk bahasa Arab), terdapat dua makna: makna hakīkī
(hakikat, esensi) dan makna majāzī (figuratif, metafora).
Namun demikian, menurut al-Kindi, memang terdapat perbedaan dari segi sumber data
(informasi) antara agama dan filsafat. Agama diperoleh melalui wahyu tanpa
proses belajar. Sedang filsafat diperoleh melalui proses belajar (berpikir dan
berkontemplasi). Sedang dari segi pendekatan dan metode, agama dilakukan dengan
pendekatan keimanan, sedang filsafat dilakukan dengan pendekatan logika.
Sebagai penggagas filsafat murni dalam dunia
Islam, Al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia. Sebab,
melalui filsafat-lah, manusia bisa belajar mengenai sebab dan realitas Ilahi yang
pertama dan merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Baginya, filsafat
adalah ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat, dalam
pandangan Al-Kindi bertujuan untuk memperkuat agama dan merupakan bagian dari
kebudayaan Islam.
Mengenai hakikat Tuhan,
Al-Kindi menegaskan bahwa Tuhan adalah wujud yang hak (benar), yang bukan
asalnya tidak ada menjadi ada, ia selalu mustahil tidak ada, ia selalu ada dan
akan selalu ada. Jadi Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud
yang lain, tidak berakhir wujudNya dan tidak wujud kecuali denganNya.[25]Filsafatnya
tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis.
Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyah atau
aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan)[26].
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain
yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut
haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya.
2.
Al-Farabi
(257-337 H/870-950 M)
Abū Nasir Muhammad bin
al-Farakh al-Fārābi (870-950, Bahasa Persia: محمد فارابی ) singkat Al-Farabi adalah ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan. Ia juga
dikenal dengan nama lain Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal
sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi , juga
dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir.[27]
Ayahnya adalah seorang
Iran dan kawin dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian ia menjadi perwira
tentara Turkestan. Karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal dari keturunan
Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.Sejak kecilnya,
Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan
bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkistan, dan
Kurdistan. Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani, yaitu
bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.
Setelah besar, Al-Farabi
meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu
pengetahuan pada masanya, untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius[28].
Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian
belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.
Tahun 940M, al Farabi melajutkan
pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu
dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam
Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339
H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti
Abbasiyyah).[29]Selama
hidupnya al Farabi banyak berkarya. Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan,
karya-karya al- Farabi dapat ditinjau menjdi 6 bagian[30].
Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab
al-Musiqa. Selain
itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang
dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat. Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan
penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenius, dalam
bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh
filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas
Aristoteles. Di antara karangan-karangannya ialah[31]:
Ø Aghradlu ma Ba’da at-Thabi’ah.
Ø Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat
Kedua Filosof; maksudnya Plato dan Aristoteles).
Ø Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
Ø ‘Uyun al-Masail (Pokok-Pokok
persoalan).
Ø Ara-u Ahl-il Madinah al-Fadhilah
(Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama).
Meskipun Al-Farabi telah
banyak mengambil dari Plato, Aristoteles dan Plotinus, namun ia tetap memegangi
kepribadian, sehingga pikiran-pikiranya tersebut merupakan filsafat Islam yang
berdiri sendiri, yang bukan filsafat stoa, atau Peripatetik atau Neo
Platonisme. Memang bisa dikatakan adanya
pengaruh aliran-aliran tersebut, namun bahannya yang pokok adalah dari Islam
sendiri[33].
Al-Farabi adalah seorang filosof muslim dalam
arti yang sebenarnya. Ia telah menciptakan sistem filsafat yang relatif
lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran
filsafat di dunia Islam. Ia menjadi anutan/guru dari filosof-filosof Islam
sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi terkenal sebagai
filosof sinkretisme yang mempercayai filsafat. Al-Farabi berusaha
memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama
pemikiran plato dan plotinus, juga antara agama dan filsafat. Usaha Al-Farabi
diperluas lagi, bukan hanya mempertemukan aneka aliran filsafat yang
bermacam-macam, tapi ia berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada
hakikatnya satu, meskipun berbeda-beda corak dan macamnya .
Menurutnya, tujuan filsafat itu memikirkan
kebenaran, karena kebenaran itu hanya ada satu, tidak ada yang lain . Al-Farabi
berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama
membawa kebenaran . Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al-Jami’
Baina Ra’yani Al-Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran Plato
dengan Aristoteles. Kendatipun begitu, Al-Farabi juga mempertemukan hasil-hasil
pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil
(interpretasi batin) . Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang
wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai
(Peripaterik) filosof-keilmuan. Tidak heran jika ia mendapat gelar Al-Mu’alim
Al-Tsani.
Al-Farabi adalah orang pertama yang memberikan
uraian sistematik terhadap hirearki wujud dalam kerangka hirearki
intelegensi dan jiwa serta pemancaran (faidh)-nya dari Tuhan.
Al-Farabi membagi wujud menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah sebabnya. Pertama,
wujud keberadaannya sama sekali tidak memiliki sebab. Al-Farabi menyebut wujud
ini sebagai wujud pertama atau sebab pertama yang merupakan prinsip tertinggi
eksistensi setiap wujud lainnya. Tentang prinsip tertinggi ini hanya terbatas
pada pengetahuan tentang hal itu dan bukan prinsip-prinsip wujudnya. Kedua,
wujud yang memiliki keempat sebab Aristetolian: material, formal,
efisien, dan final[34].
Ketiga, wujud yang sepenuhnya immaterial - yang lain daripada wujud
benda di dalam atau menempati benda-benda[35].
Al-farabi adalah filsuf Islam pertama yang berupaya
menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik
Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam
konteks agama-agama wahyu. Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan
pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti
Plato dan Aristoteles dan mencoba
mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran
Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama)[36]
3.
Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam,
lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran). Kata-kata
al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali (dengan dua z). dengan
menduakalikan z, kata-kata al-Ghazzali diambil dari kata-kata Ghazzal,
artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah memintal benang
wol, sedang al-Ghazali dengan satu z, diambil dari kata-kata Ghazalah,
nama kampung kelahiran al-Ghazali. Sebutan terakhir ini yang banyak dipakai.[37]
Al-Ghazali pertama-tama
belajar agama di kota Tus, kemudian meneruskan di Jurjan, dan akhirnya di
Naisabur pada Imam al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat tahun 478 H/1085
M. kemudian ia berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, dan dari
padanya ia mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal
di kota itu enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat
menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu dilaksanakan
dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain mengajar, juga
mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyah,
Isma’iliyyah, golongan filsafat dan lain-lain.
Pengaruh al-Ghazali di
kalangan kaum Muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan orang-orang
ahli ketimuran (Orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum
Muslimin berpangkal pada konsepsi al-Ghazali. Al-Ghazali adalah seorang ahli
pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam
karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai
lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih),
Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian
besar dari buku-buku tersebut diatas dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya
dalam bahasa Persia.
Karyanya yang terbesar
yaitu Ihya ‘Ulumuddin yang artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, dan
dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam,
Yerussalem, Hijjaz dan Tus, dan yang berisi tentang paduan yang indah antara
fiqih, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum Muslimin,
tetapi juga di kalangan dunia Barat dan luar Islam.
Bukunya yang lain yaitu al-Munqidz
min ad-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam
pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam
ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Diantara penulis-penulis modern banyak
yang mengikuti jejak al-Ghazali dalam menuliskan autobiografi.
Pikiran-pikiran al-Ghazali
telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan batin,
sehingga sukar diketahui kesatuan dan kejelasan corak pemikirannya, seperti
yang terlihat dari sikapnya terhadap filosof-filosof dan terhadap aliran-aliran
akidah pada masanya. Namun demikian, al-Ghazali telah mencapai hakikat agama
yang belum pernah diketemukan oleh orang-orang yang sebelumnya dan
mengembalikan kepada agama nulai-nilai yang telah hilang tidak menentu. Jalan
yang terdekat kepada Tuhan ialah jalan hati dan dengan demikian ia telah
membuka pintu Islam seluas-luasnya untuk tasawuf.
Pengaruh al-Ghazali besar
sekali di kalangan kaum Muslimin sendiri sampai sekarang ini, sebagaimana
juga di kalangan tokoh-tokoh pikir abad pertengahan bahkan juga sampai pada
tokoh-tokoh pikir abad modern.
Al Ghazali memberikan reaksi keras terhadap neo
platonisme Islam, menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filsuf, karena
mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika.
Menurut al Ghazali, para pemikir bebas tersebut ingin menanggalkan
keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemuajan ritual dengan
menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka.
Menurut Al Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu
tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat, kalau terjadi
tambahan atau pertalian dengan zat, zat Tuhan tetap dalam keadaannya.
4. Ibnu Miskawaih
Nama lengkap beliau adalah
Abu ‘ali al-Khazin ahmad bin ya’qub bin miskawaih, dipanggil ibnu Miskawaih
atau ibnu Maskawaih. Dia dilahirkan di Ray (Teheran), mengenai tahunnya masih
banyak kontroversi atasnya ada yang menyangka 330 H dan ada juga yang
mengatakan 325 H. Dia dilahirkan dalam masa bani Abbasiyyah. Ibnu Maskawaih
seorang keturunan Persia, yang konon dulunya keluarganya dan dia beragama
Majuzi dan pindah ke dalam Islam dan menjadi pemikir Islam sangat berpengaruh
dizamannnya. Ibnu Maskawaih berbeda dengan al-Kindi dan al-Farabi yang lebih
menekankan pada aspek metafisik, ibnu Maskawaih lebih pada tataran filsafat
etika seperti al-Ghazali.
Ibnu Maskawaih merupakan filsuf yang bergelar
guru ketiga setelah al-Farabi yang digelari guru kedua. Sebagai bapak etika
islam, beliau telah merumuskan dasar-dasar etika didalam kitabnya Tahdzib
al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlaq).
Sementara itu sumber filsafat etika ibnu Maskawaih berasal dari filsafat
Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi.
Akhlaq merupakan bentuk jamak dari Khuluq,
yang oleh beliau Khuluq dimaknai peri keadaan jiwa yang mengajaknya
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan
sebelumnya. Sehingga dapat dijadikan fitrah manusia maupun hasil dari
latihan-latihan yang telah dilakukan, hingga menjadi sifat diri yang dapat
melahirkan khuluq yang baik. Menurutnya ada kalanya manusia mengalami
perubahan khuluq sehingga disana dibutuhkan aturan-aturan syariat,
nasehat-nasehat, dan ajaran-ajaran tradisi terkait sopan santun[38].
Ibnu Maskawaih membedakan antara al-Khair (kebaikan),
dan as-sa’adah (kebahagiaan). Beliau mengambil alih konsep kebaikan
mutlak dari Aristoteles, yang akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan
sejati. Menurutnya kebahagiaan tertinggi adalah kebijaksanaan yang menghimpun
dua aspek; aspek teoritis yang bersumber pada selalu berfikir pada hakekat
wujud dan aspek praktis yang berupa keutamaan jiwa yang melahirkan perbuatan
baik. Dalam menempuh perjalananannya meraih kebahagiaan tertinggi tersebut
manusia hendaklah selalu berpegangan pada nilai-nilai syariat, sebagai petunjuk
jalan mereka.
Mengenai filsafat etika nya ibnu Maskawaih
memiliki berbagai pernyataan: menurutnya setiap manusia memiliki potensi asal
yang baik dan tidak akan berubah menjadi jahat, begitu pula manusia yang
memiliki potensi asal jahat sama sekali tidak akan cenderung kepada kebajikan,
adapun mereka yang yang bukan berasal dari keduanya maka golongan ini dapat
beralih pada kebajikan atau kejahatan, tergantung dengan pola
pendidikan,pengajaran dan pergaulan[39].
5. Ibnu Sina
Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana
Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran, dan negeri-negeri yang mula-mula
berada di bawah kekuasaan khilafah tersebut mulai melepaskan diri satu persatu
untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sendiri, sebagai pusat pemerintahan
Khilafah Abbasiyah, dikuasai oleh golongan Bani Buwaih pada tahun 334 H dan
kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H. Di antara daerah-daerah
yang berdiri sendiri ialah Daulah Samani di Bukhara, dan di antara khalifahnya
ialah Nuh bin Mansur. Pada masanya, yaitu di tahun 340 H (980 M), di suatu
tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan
dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta
ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari
matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu
kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
Belum lagi usianya melebihi enam-belas
tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak
orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan
teori-teori kedokteran, taoi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang
sakit. Sebenarnya hidup Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan, dan usianya
pun tidak panjang. Meskipun banyak kesibukan-kesibukannya dalam urusan politik,
sehingga ia tidak banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah
berhasil meninggalkan berpuluh-puluh karangan.
Karangan-karangan Ibnu Sina yang terkenal ialah:
? Asy-Syifa. Buku ini adalah buku filsafat yang
terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, dan trediri dari enpat bagian, yaitu:
logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan).
? An-Najat. Buku ini merupakan keringkasan buku
as-Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku al-Qanun dalam ilmu
kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
? Al-Isyarat wat-Tanbihat. Buku ini
adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden
pada tahun 1892 M, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis.
? Al-Hikmat al-Masyriqiyyah. Buku ini
banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan
naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika.
? Al-Qanun, atau Canon
of Medicine, menurut penyebutan orang-orang Barat. Buku ini pernah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar untuk
universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ketujuhbelas Masehi.
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap
pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang
khusus untuk soal-soal kejiwaan atau pun buku-buku yang berisi campuran
berbagai persoalan filsafat. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat
diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak
abad kesepuluh Masehi sampai akhir abad ke-19 Masehi, terutama pada
Gundissalinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Dun Scott.
Bahkan juga ada pertaliannya dengan pikiran-pikiran Descartes tentang hakikat
jiwa dan wujudnya.
Hidup Ibnu Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan
mengarang; penuh pula dengan kesenangan dan kepahitan hidup bersama-sama, dan
boleh jadi keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa penyakit yang tidak bisa
diobati lagi. Pada tahun 428 H (1037 M), ia meninggal dunia di Hamadzan, pada
usia 58 tahun.
6.
Ibnu Rusyd
Nama lengkapnya Abul Walid
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H. Ia berasal
dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai
kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan
kakeknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd kakek” (al-Jadd)
adalah kepala hakim di Cordova.
Ibnu Rusyd adalah seorang
ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya
terhadap ilmu sukar dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil
sampai tuanya ia tidak pernah terputus membaca dan menelaah kitab, kecuali pada
malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.
Karangannya meliputi
berbagai ilmu, seperti: fiqih, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik,
akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah
ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan,
atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka
tidak mengherankan kalau ia memberikan perhatiannya yang besar untuk
mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku lain yang telah
diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus,
al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu Bajah.
Buku-bukunya yang lebih
penting dan yang sampai kepada kita ada empat, yaitu:
§ Bidayatul Mujtahid, ilmu fiqih. Buku ini
bernilai tinggi, karena berisi perbandingan mazhabi (aliran-aliran) dalam fiqih
dengan menyebutkan alasannya masing-masing.
§ Faslul-Maqal fi ma baina al-Hikmati was-Syari’at min al-Ittisal (ilmu kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaian
antara filsafat dan syari’at, dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa
Jerman pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal Jerman.
§ Manahijul Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah (ilmu kalam). Buku ini menguraikan tentang pendirian aliran-aliran ilmu
kalam dan kelemahan-kelemahannya, dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam
bahasa Jerman, juga oleh Muler, pada tahun 1895 M.
§ Tahafut at-Tahafut, suatu buku yang terkenal
dalam lapangan filsafat dan ilmu kalam, dan dimasukkan untuk membela filsafat
dari serangan al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Buku Tahafut
at-Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan
terjemahannya ke dalam bahasa Inggris oleh van den Berg yang terbit pada tahun
1952 M.
Ibnu Rusyd adalah tokoh
pikir Islam yang paling kuat, paling dalam pandangannya, paling hebat
pembelaannya terhadap akal dan filsafat, sehingga ia benar-benar menjadi
filosof-pikiran dikalangan kaum Muslimin. Pada garis besar filsafatnya, ia
mengikuti Aristoteles dan berusaha mengeluarkan pikiran-pikirannya yang
sebenarnya dari celah-celah kata-kata Aristoteles dan ulasan-ulasannya. Ia juga
berusaha menjelaskan pikiran tersebut dan melengkapkannya, terutama dalam
lapangan ketuhanan, di mana kemampuannya yang tinggi dalam mengkaji berbagai
persoalan dan dalam mempertemukan antara agama dengan filsafat nampak jelas
kepada kita[40].
7.
Ibnu Bajah
Ia adalah Abubakar Muhammad bin Yahya, yang terkenal
dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah. Orang-orang Eropa pada abad-abad
pertengahan menamai Ibnu Bajah dengan “Avempace”, sebagaimana mereka menyebut
nama-nama Ibnu Sina, Ibnu Gaberol, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, masing-masing
dengan nama Avicenna, Avicebron, Abubacer, dan Averroes.
Ibnu Bajah dilahirkan di Saragosta pada abad ke-11
Masehi. Tahun kelahirannya yang pasti tidak diketahui, demikian pula masa kecil
dan masa mudanya. Sejauh yang dapat dicatat oleh sejarah ialah bahwa ia hidup
di Serville, Granada, dan Fas; menulis beberapa risalah tentang logika di kota
Serville pada tahun 1118 M, dan meninggal dunia di Fas pada tahun 1138 M ketika
usianya belum lagi tua. Menurut satu riwayat, ia meninggal dunia karena
diracuni oleh seorang dokter yang iri terhadap kecerdasan, ilmu, dan
ketenarannya. Buku-buku yang ditinggalkannya ialah:
F Beberapa
risalah dalam ilmu logika, dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan
Escurial (Spanyol).
F Risalah tentang
jiwa.
F Risalah
al-Ittisal, mengenai pertemuan manusia dan akal-faal.
F Risalah al-Wada’, berisi uraian tentang
penggerak-pertama bagi manusia dan tujuan yang sebenarnya bagi wujud manusia
dan alam.
F Beberapa
risalah tentang ilmu falak dan ketabiban.
F Risalah Tadbir al-Mutawahhid.
F Beberapa ulasan
terhadap buku-buku filsafat, antara lain dari Aristoteles, al-Farabi,
Porphyrus, dan sebagainya.
Menurut Carra
de Vaux, di perpustakaan Berlin ada 24 risalah manuskrip karangan Ibnu Bajah[41].
Ibnu Bajah telah memberi corak baru terhadap filsafat Islam di negeri Islam
barat dalam teori ma’rifat (epistemology, pengetahuan), yang berbeda sama
sekali dengan corak yang telah diberikan oleh al-Ghazali di dunia timur Islam,
setelah ia dapat menguasai dunia pikir sepeninggal filosof-filosof Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut
Pemikiran Penulis :
Dunia Islam telah berhasil
membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan
masyarakat Islam sendiri.
Nama Al-Kindi adalah
merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku, yaitu : Banu Kindah. Banu
Kindah adalah suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah selatan Jazirah
Arab dan mereka ini mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Mengenai filsafat dan
agama, Al-Kindi berusaha mempertemukan amtara kedua hal ini; Filsafat dan
agama. Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau
ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama juga merupakan
ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan.
Abu Nashr Muhammad bin
Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana
ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Sebagian besar karangan-karangan
Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles,
Plato, dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika.
Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal
sebagai pengulas Aristoteles.
Di tahun 340 H (980 M), di
suatu tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan
dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta
ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari
matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu
kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
Abu Hamid bin Muhammad bin
Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota
kecil di Khurassan (Iran). Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang
dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan
buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi
Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab
kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas
dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persia.
Abubakar Muhammad bin
Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah.
DAFTAR PUSTAKA
Ø _______, Filosof-Filosof Islam, http://mcdens13.wordpress.com/2010/05/28/
filosof-filosof-islam / diakses pada tanggal 3 November 2012
Ø ________,Biografi Al Kindi,http://www.gudangmateri.com/2009/06/biografi-al-kindi.html/
diakses pada tanggal 3 November 2012
Ø Al-Farabi, http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi/ diakses
pada tanggal 3 November 2012.
Ø Anwar, Rosihon dkk, Pengantar Studi Islam, Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2009.
Ø Andipostra , Al-Farabi,
http://id.shvoong.com/humanities/1919708-al-farabi/ diakses pada tanggal 3 November 2012.
Ø A.HakamSaifullahBaihaqi,Al-Ghazali,IlmuwandanFilosof
Ø Besar Islam,http://sutrisno.wordpress.com/2006/12/07/al-ghazali-ilmuwan-dan-filosof-besar-islam-2/
diakses pada
tanggal 3 November 2012
Ø Hakim, Atang
Abdul dan Beni Ahamad Saebani, Filsafat Umum, Bandung : CV. Pustaka
Setia,2008.
Ø Muhaemin, dan Jusuf
Mudzakir, Kawasan dan Wawasan Studi
Islam, Jakarta : Kencana, 2007.
Ø Ruswandi, Al-Kindi Filosof Islam Pertama, http :/ /
mentoringku .wordpress .com /2008 /09 /24/al-kindi-filosof-islam-pertama/diakses
pada tanggal 3 November 2012
Ø Widiyarto,
Eko. ibnu
Miskawaih sang filsuf etika muslim, http: //suficinta .wordpress.com
/2008/10/31/ibnu-miskawaih-sang-filsuf-etika-muslim/ diakses pada
tanggal 3 November 2012
[1]
http://www.abdain.com/pendekatan-dan-metode-studi-islam.html
[2]Rosihon Anwar, Pengantar Studi Islam,CV.
Ustaka Setia: Bandung, 2009, hlm.89.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat
[5]Muhaimin,dkk.
hlm. 304
[6]
Menurut endang saifuddin anshari bhwa filsafat itu adalah hasil usaha menusia
dengan kekuatan akal budinya untuk memahami (menyelami dan mendalami) secara
radikal, integral dan universal hakikat sarwa yang ada (hakikat tuhan, hakikat
manusia), serta sikap manusia termasuk sebagai konsekuensi dari paham
(pemahaman)-nya tersebut..
[7]Adapun
bagian-bagian atau cabang-cabang dari filsafat itu sendiri meliputi : pertama,
matafisika, yakni filsafat tentang hakikat yang ada dibalik fisika, tentang
hakikat yang adanyang bersifat transenden, di luar atau di atas pengalaman
manusia. Kedua, logika, yakni filsafat tentang pikiran yang benar dan
salah. Ketiga, etika, yakni filsafat tentang tingkah laku yang baik dn
buruk. Keempat, estetika, yakni filsafat tentang karya (kreasi) yang
indah dan yang jelek. Kelima, epistemology, yakni filsafat tentang
pengetahuan. Dan keenam adalah filsafat-filsafat khusus, seperti
filsafat alam, filsafat agama dan lain-lain.
[8]Kata-kata
yang dipakai dalam al-qur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir bukan hanya
‘aqala, tetapi juga kata-kata : Nazhara (melihat secara abstrak dalam
arti berfikir dan merenungkan), misalnya dalam QS. At-thariq ayat 5-7 dan
sebagainya; Tadabbara (merenungkan), misalnya dalam QS. Shad ayat 29 dan
lain-lain, Tafakkarra (berfikir), seperti dalam QS. Al-anfal ayat 68-69
dan lain-lain, Faqiha (mengeti, faham), seperti dalam QS. Al-isra ayat 44, Tadzakkara
(mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memerhatikan dan
mempelajari), seperti dalam QS. An-nahl ayat 17, az-zumar ayat 9 dan lain-lain,
Fahima (memahami), seperi dalam QS. Al-anbiya ayat 78-79 dan lain-lain.
[9]
Cara manusia mencari dan menemukan kebenaran itu ada tiga macam, yaitu dengan
agama, filsafat dan dengan ilmu pengetahuan. Antara satu dengan lainnya
mempunyai titik persamaan antara ketiga-tiganya adalah bahwa baik agama,
filsafat maupun ilmu setidak-tidaknya bertujuan atau berurusan dengan hal yang
sama, yaitu kebenaran, agama dengan wataknya sendiri, memberikan jawaban ,
titik perbedaan dan titik singgung.
[10]
Manusia adalah makhluk berfikir, berfikir adalah bertanya, bertanya adalah
mencari jawaban, dan mencari jawaban adalah mencari kebenaran, mencari jawaban
tentang sesuatu berarti mencari kebenaran tentang sesuatu itu. Mencari jawaban
tentang hidup misalnya adalah mencari kebenaran tentang hidup. Dengan demkiian
pada akhirnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran.
[12]
Muhaimin,dkk. Op.Cit.hlm. 311
[13]
Aristoteles lahir di Stagira Macedon tahun 384 SM, meninggal tahun 322 SM, pada
usia 17 tahun ia pergi belajar ke Athena menjadi murid dari Plato di Academia
Athena, ketika ia berusia 40 tahun, Plato meninggal dunia, dan ia mendirikan
lembaga pendidkan yang baru di lycium.
[14]
Para penerjemah tersebut telah banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dengan
tiga pemikir utama yang banyak memengaruhi para pemikir islam yaitu Plato,
Aristoteles dan Neo-Platonisme
[15]Dalam
pengertian ini, Islam pada hakikinya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya
mengenai satu segi, namun mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia dengan
merujuk pada Alquran dan Hadis.
[16]Pernyataan
Mulyadi di atas, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Oleaver Leaman bahwa
konflik istilah antara filsafat dan agama tidak seharusnya menghilangkan
kemungkinan adanya sebuah filsafat Islam. Seseorang dapat dikatakan sebagai
seorang filosof bukan karena kekhawatiran mereka akan keberadaan keimanan
terhadap agama tapi kemampuan memakai argumen-argumen rasional guna mempertahankan
atau menyerang suatu pandangan (keagamaan)
[17]
Menurut Mulyadi Kartanegara, ada 3 alasan: (1) Terjadinya Islamisasi Filsafat
Yunani di dunia Islam, (2) Adanya transformasi radikal yang memberikan warna
tersendiri bagi filsafat Islam yang disebabkan oleh daya kritis dan kritik yang
dilontarkan oleh para filosof muslim, dan (3) Adanya perkembangan yang unik
dalam filsafat Islam karena interaksinya dengan Islam sebagai sebuah agama.
Pengembangan ini salah satunya melahirkan filsafat kenabian yang hampir sebagian
besar filosof muslim mengupasnya
[18]
Lebih jauh, menurut Musa, filsafat Islam dapatlah diartikan sebagai kegiatan
pemikiran yang bercorak Islami. Islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu
pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas
kefilsafatan itu orang yang beragama Islam atau orang yang berkebangsaan Arab
atau dari segi obyeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman.
[19]Dengan
sifat dan coraknya yang demikian itu, filsafat Islam berbeda dengan filsafat
Yunani atau filsafat Barat pada umumnya yang semata-mata mengandalkan akal
pikiran (rasio).
[20]
Hendi Suhendi, filsafat Umum, CV. Pustaka Setia: Bandung, 2008, hlm.435.
[22]Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi
adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
[23]
Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang
kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama
juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki
perbedaan.
[24]
Di dalam al-Qur`an disebutkan, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi
serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda [āyāt] bagi kaum yang
berakal; yaitu mereka yang ber-dzikir dalam keadaan berdiri dan duduk dan
mereka yang ber-tafakkur dalam penciptaan langit dan bumi…” (Q.S. ).
[25]
http://mentoringku.wordpress.com/2008/09/24/al-kindi-filosof-islam-pertama
[26]Dalam
pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species.
Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan
Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat
Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan
keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat
ditangkap indera.
[27]http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi3nov2012
[28]Selama berada di Baghdad, ia memusatkan perhatiannya
kepada ilmu logika. Al-Farabi luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada
pada masanya dan mengarang buku-buku dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya, baik
yang sampai kepada kita maupun yang tidak, menunjukkan bahwa ia mendalami
ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam,
ketuhanan, fiqih, dan mantik.
[29]Al-Farabi
adalah seorang komentator filsafat
Yunani yang ulung
di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani,
ia mengenal para filsuf Yunani;
Plato,
Aristoteles
dan Plotinus
dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika,
filosofi,
pengobatan,
bahkan musik.
[30]Logika,
Ilmu-ilmu Matematika, Ilmu Alam, Teologi, Ilmu Politik dan kenegaraan, Bunga
rampai (Kutub Munawwa’ah).
[31] http://mcdens13.wordpress.com/2010/05/28/filosof-filosof-islam/3n0v2012
[32]
Menurut Dr. Ibrahim Madkour, filsafat Al-Farabi adalah
filsafat yang bercorak spiritual-idealis, sebab menurut Al-Farabi, dimana-mana
ada roh. Tuhannya adalah Roh dari segala Roh. Akal yang dikonsepsikannya yaitu ‘Uqul
Mufariqah (akal yang terlepas dari benda) merupakan makhluk rohani murni,
sedang kepala negeri- utamanya, menguasai badannya. Roh itu pula yang
menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam di bawah bulan.
[35]http://id.shvoong.com/humanities/1919708-al-farabi/3nov2012
[36]Karyanya
yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara
Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan
hubungan antara rejim
yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat
politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama
mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah.
[37]http://mcdens13.wordpress.com/2010/05/28/filosof-filosof-islam/3n0v2012
[38] Ibnu Maskawaih memperhatikan pula proses pendidikan akhlaq
pada anak, yang menurutnya kejiwaan anak-anak merupakan mata rantai dari jiwa
kebinatangan dan jiwa manusia yang berakal, namun jiwa anak-anak menghilangkan
jiwa binatang tersebut dan memunculkan jiwa kemanusiaannnya. Jiwa
manusia pada anak-anak mengalami proses perkembangan. Sementara itu syarat
utama kehidupan anak-anak adalah syarat kejiawaan dan syarat sosial. Sementara
nilai-nilai keutamaan yang hyarus menjadi perhatian ialah pada aspek jasmani
dan ruhani. Dan beliau pun mengharuskan keutamaan pergaulan anak-anak pada
sesamanya mestilah ditanamkan sifat kejujuran, qonaah, pemurah, suka mengalah,
mngutamakan kepentingan orang lain, rasa wajib taat, menghormati kedua orang
tua, dll.
[39]
Ibnu Maskawaih membedakan antara kebajikan dengan perasaan beruntung,
menurutnya kebajikan adalah yang dituju oleh seseorang dengan perasaan gembira.
Kebajikan memiliki dasar yakni perasaan cinta yang harus dimiliki seseorang
terhadap manusia seluruhnya. Manusia tidak akan mencapai kesempurnaannya
kecuali dengan kebersamaan. Ibnu Maskawaih menyatakan bahwa apabila agama
dipelajari sungguh-sungguh maka sesungguhnya ia merupakan mazhab akhlaq yang
berdasarkan cinta manusia dengan sesamanya, dan agama merupakan suatu latihan
akhlaq jiwa manusia.
[41] Diantara karangan-karangannya itu yang paling penting
ialah risalah Tadbir al-Mutawahhid yang membicarakan usaha-usaha
orang yang menjauhi segala macam keburukan masyarakat, yang disebutnya Mutawahhid,
yang berarti “penyendiri”. Isi risalah tersebut cukup jelas, sehingga
memungkinkan kita dapat mempunyai gambaran tentang usaha si penyendiri tersebut
untuk dapat bertemu dengan akal-faal dan menjadi salah satu unsur pokok bagi negeri
idam-idamannya.
Blogger Comment
Facebook Comment