TUGAS MANDIRI
UNIVERSALITAS, AUTENTISITAS, DAN DINAMIKA ISLAM
Guna memenuhi tugas mata kuliah Metodoligi Study Islam
Di susun Oleh :
Doni Darmawan
Prodi : Perbankan Syariah
Kelas : C
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
TAHUN 2012 / 2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah
ini dengan judul “Universalitas,
Autentisitas, dan Dinamika Islam”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Metodologi
Study Islam.
Akhirnya kami sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah
ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri kami sendiri
dan khususnya pembaca pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah
adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang
konstruktif sangat kami harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan
makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
|
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehadiran
agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya
kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.
Petunjuk-petunjuk
agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber
ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan
kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi
kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial,
menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas,
egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan
persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
Menurut
Fazlur Rahman secara eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang memancarkan
titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Tesis ini dapat dilihat
misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan
keimanan, ketaqwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.
Saat
ini kehidupan internasional dicirikan dengan interdependensi negara-negara
bangsa. Apa yang kita kenal dengan globalisasi telah menghancurkan sekat-sekat
dan jarak antar bangsa. Selain itu, globalisasi juga membuat
kesalingterpengaruhan dan kesalingtergantungan menjadi realitas yang sulit
dihindari. Seorang muslim dihadapkan dengan pertanyaan tentang bagaimana
menjadi seorang muslim di tengah interdependensi keamanan, politik dan ekonomi
dan kesalingterpengaruhan sosial-budaya. Dengan kata lain, transformasi
radikal yang terjadi dalam kehidupan saat ini berpengaruh pada persoalan
bagaimana menjadi muslim di tengah-tengah modernitas. (what is the impact
of glabalization on being muslim ?)
Masalah
utama yang dihadapi muslim modern selama dua abad terakhir adalah bagaimana
menyesuaikan orientasi dan mentransformasikan konsepsi Islam dengan cara yang
otentik dan legitimet. Apapun persoalannya, baik itu modernitas, demokrasi,
HAM, perkembangan ekonomi atau masalah-masalah lain, persoalan utamanya pasti
seputar kebutuhan akan legitimasi dan rasionalisasi tujuan normatif atau
material tradisi masyarakat Islam. Upaya ini pula yang dilakukan Abdullahi
Ahmed An-Naim, seorang pemikir Islam asal Sudan. An-Naim sehubungan dengan
realitas transformasi radikal dunia, mempertanyakan kaitan antara HAM dan
Islam. Pelanggaran HAM atas nama Syari’ah Islam yang ia saksikan langsung di
Sudan, membuatnya gelisah, benarkah Islam tidak kompatibel dengan HAM, benarkah
Islam tidak adil.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut menggugahnya untuk melihat syari’ah seperti apa yang melanggar HAM dan
Syari’ah yang mana yang seharusnya diberlakukan saat ini. Bagi An-Naim,
Syari’ah historis –formulasi klasik-tidak lagi memadai untuk terus menjadi
landasan hidup muslim modern. Diperlukan Syariah baru yang lebih adil dan
kompatibel dengan standar HAM universal . upaya-upaya An-Naim untuk
membuat formulasi syari’ah baru ini inilah yang digagas dalam makalah ini.
Makalah ini bermaksud melihat alternatif pembaharuan yang ditawarkan An-Naim
dalam rangka membangun otensitas dan legitimasi Islam bagi HAM universal.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut
terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat
manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau
berhenti sekadar disampikan dalam kotbah, melainkan secara konsepsional
menunjukkkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab
manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis
dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara
operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan.
Hal demikian perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara
fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya.
Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis
normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan
pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah
cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin
Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma.
Selama ini kita sudah mengenal Islam, tetapi Islam dalam
potret yang bagaimanakah yang kita kenal itu, tampaknya masih merupakan suatu
persoalan yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Misalnya mengenal Islam dalam
potret yang ditampilkan Iqbal dengan nuansa filosofis dan sufistiknya. Islam
yang ditampilkan Fazlur Rahman bernuansa historis dan filosofis. Demikian juga,
Islam yang ditampilkan pemikir-pemikir dari iran seperti Ali Syari’ati, Sayyed
Hussein Nasr, Murthada Munthahhari.
Pemikiran para ilmuan Muslim dengan mempergunakan
berbagai pendekatan tersebut di atas kiranya dapat digunakan sebagai bahan
untuk mengenal karakteristik ajaran Islam, tidak mencoba memperdebatkannya
antara satu dan lainnya, melainkan lebih mencari sisi-sisi persamaannya untuk kemaslahatan
umat umumnya dan untuk keperluan studi Islam pada khususnya.
Secara
sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologis)
dan sudut istilah (terminologis). Mengartikan agama dari sudut istilah
kebahasaan akan terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut
istilah karena pengertian agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan
subyektivitas dari orang yang mengartikannya. Atas dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul
beberapa ahli yang tidak tertarik mendefinisikan agama. James H. Leuba,
misalnya, berusaha mengumpulkan semua definisi yang pernah dibuat orang tentang
agama, tidak kurang dari 48 teori. Namun, akhirnya ia berkesimpulan bahwa usaha
untuk membuat defenisi agama itu tak ada gunanya karena hanya merupakan
kepandaian bersilat lidah. Selanjutnya Mukti Ali pernah mengatakan, barangkali
tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan defenisi selain dari
kata agama. Pernyataan ini didasarkan kepada tiga alasan. Pertama, bahwa
pengalaman agama adalah soal batin, subyektif dan sangat individualis sifatnya.
Kedua barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional
daripada orang yang membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan tentang
arti agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama itu sulit
didefinisikan. Ketiga, kosepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan
dari orang yang memberikan definisi tersebut.
Senada dengan Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan
bahwa salah satu kesulitan untuk berbicara mengenai agama secara umum adalah
adanya perbedaan-perbedaan dalam memahami arti agama dan disamping adanya
perbedaan juga dalam cara memahmi serta penerimaan setiap agama terhadap suatu
usaha memahami agama. Setiap agama memiliki interpretasi diri yang berbeda dan
keluasan interpretasi diri itu juga berbeda-beda.
B.
Rumusan Masalah
a.
Jelaskan
pengertian dari universalitas?
b.
Apa
yang dimaksud dengan agama?
BAB II
AGAMA DAN MANUSIA
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting dari
pada aspek – aspek budaya yang dipelajari oleh para antropolog dan para ilmuan
social lainnya, agama juga telah memberikan inspirasi untuk memberontak dan
melakukan peperangan dan terutamatelah memperindah dan memperluas karya seni.
A. Pengertian
Agama
Kata atau term “ agama “ meskipun keberadaannya di
masyarakat sudah begitu populer , namun
secara ontology ia masih sulit dirumuskan pengertiannya. M. Quraish Shihab
mengatakan bahwa agama sebagai sebuah
term yang relatife mudah diucapkan, tetapi sangat sulit didefinisikan dengan
tepat. Bahkan mukti ali menyebut agama sebagai kata yang paling sulit
dirumuskan pengertian atau definisinya,
“ barangkali tidak ada kata yang paling
sulit dirumuskan pengertiannya selain dari kata agama”.
1.
Penggunaan
istilah Agama,Religi dan al-Din
2.
Pengertian
Agama, religi dan Al-din
a. Pengertian secara kebahasaan (
Etimologis )
b. Pengertian secara istilah (
Terminologi )
Adapun
diantara definisi agama yang telah disampaikan oleh para ahli adalah :
1.
Definisi
dalam kamus Modern Bahasa Indonesia
2.
Didalam
literatur arab
3.
Di
dalam ensiklopedi Nasional Indonesia
4.
Harun
Nasution
5.
Dalam
kepustakaan Arab dan ungkapan yang berbeda dalam memberikan din atau agama.
Pengertian agama dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang
diberikan Harun Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia selain dari
kata agama, dikenan pula kata din (Ïﻴﻦ ) dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa
Eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata sanskrit. Menurut satu pendapat,
demikian Harun Nasution mengatakan, kata itu tersusun dari dua kata, a =
tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap di tempat,
diwarisi secara turun-temurun. Hal demikian menunjukkan pada salah satu sifat
agama, yaitu diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
lainnya. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks
atau kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci.
Selanjutnya din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum.
Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh,
utang, balasan dan kebiasaan
Sementara itu Elizabeth K Nottingham yang pendapatnya tersebut tampak lebih
menunjukkan pada realitas objektif, yaitu bahwa ia melihat pada dasaranya agama
itu bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memberikan
suasana batin yang nyaman dan menyejukkan, tapi juga agama terkadang
disalah-gunakan oleh penganutnya untuk tujuan-tujuan yang merugikan orang lain.
Substansi agama bersifat transenden tetapi juga sekaligus imanen. Ia
transenden, karena substansi agama sulit didefinisikan dan tidak terjangkau
kecuali melalui predikat atau bentuk formalnya yang lahiriah. Namun begitu,
agama juga imanen karena sesungguhnya hubungan antara predikat dan substansi
tidak mungkin dipisahkan. Kalau saja substansi agama bisa dibuat hierarki, maka
substansi agama yang paling primordial hanyalah satu. Ia bersifat parennial,
tidak terbatas karena ia merupakan pancaran dari yang mutlak. Ketika substansi
agama hadir dalam bentuk yang terbatas, maka sesungguhnya agama pada waktu yang
sama bersifat universal sekaligus partikular.
Karena banyaknya definisi tentang agama yang dikemukakan
para ahli, Harun Nasution mengatakan bahwa dapat diberi definisi sebagai
berikut :
1) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan
kekuatan gaib yang harus dipatuhi;
2) Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai
manusia;
3) Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung
pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia;
4) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan
cara hidup tertentu;
5) Suatu sistem tingkah laku (code of condut) yang
berasal dari kekuatan gaib;
6) Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang
diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib;
7) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan
lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam
sekitar manusia;
8) Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui
seorang rasul (utusan Allah).
B. Bentuk
– Bentuk Agama
Dari sudut kajian teologis, para agamawan berpendapat bahwa
berdasarkan asal – usulnya seluruh agama yang dianut oleh manusia dapat
dikelompokan dalam dua katagori berikut ini :
·
Agama
kebudayaan yaitu agama yang bukan berasal dari tuhan dengan jalan diwahyukan,
tetapi merupakan hasil proses antropologis, yang terbentuk dari adat istiadat
dan selanjutnya melembaga dalam bentuk agama formal
·
Agama samawi atau agama wahyu yaitu
agama yang diwahyukan dari tuhan melalui malaikatn-Nya kepada utusan-Nya yang
dipilih dari manusia.
Berbida
dengan kajian para teolog, para ilmuan yang diwakili oleh para sarjana
antropologi budaya dan sosiologi agama, melalui kajian keilmuan mereka (
scientivic approacb ) membedakan agama yang ada didunia ini menjadi dua
kelompok besar, yaitu spiritualisme dan materialisme.
1.
Spiritualisme
Spiritualisme adalah agama penyembah
sesuatu ( zat ) yang gaib yang tidak Nampak secara lahiriah, yaitu sesuatu
yang memang tidak dapat dilihat dan tidak dapat berbentuk. Bagian ini
terinci lagi dalam beberapa kelompok :
a. Agama ketuhanan yaitu agama yang
para penganutnya menyembah tuhan.
a) Monoteisme yaitu bentuk religi (
agama )
b) Politeisme, yaitu bentuk religi (
agama )
b. Agama Penyembah Roh, adalah
kepercayaan orang primitive kepada roh nenek moyang atau roh pemimpin dan roh
para pahlawan yang telah gugur mereka percaya bahwa orang yang sudah meninggal
dapat memberikan pertolongan dan perlindungan kepada menerka bila mendapat kesulitan.
Untuk menghadirkan roh – roh tersebut perlu diadakan upacara keagamaan yang
khusus dan kompleks.
2.
Materialism
Materialism adalah agama yang mendasarkan kepercayaannya
terhadap tuhan yang dilambangkan dalam wujud benda – benda material, seperti
patung manusia atau binatang dan berhala atau sesuatu yang dibangun dan dibuat
untuk disembah, agama materialism pada hakikatnya tidak terlalu jauh
perbedaannya dengan agam spiritualisme, sebab keduanya mempercayai jiwa atau
sesuatu yang gaib.
C. Cara
Manusia Beragama
Manusia dalam praktek beragama dan
keberagamaannya berbeda – beda satu dengan lainnya. Hal ini disesuaikan dengan
tingkat pengalaman keberagamaan masing – masing pemeluknya. Ada beberapa cara
yang perlu diketahui, yaitu :
1.
Cara
mistik
2.
Cara
penalaran,
3.
Cara
amal saleh,
4.
Cara
sinkretisme.
D. Urgensi
Agama Bagi Manusia
Untuk memahami tingkat urgensi agama
bagi manusia kiranya perlu diketahui lebih dulu eksistensi manusia dan
kebutuhan – kebutuhannya di satu pihak, dan kemudian dikaitkan dengan peran
yang bisa difungsikan oleh agama terhadap kebutuhan itu pada pihak lain.
Manusia diciptakan ke dunia telah dibekali dengan seperangkat potensi untuk
keberlangsungan hidup dan kehidupannya .
E. Proses
Keberagaman Manusia
Sejalan dengan keberadaan agama merupakan fitrah manusia,
maka Nurcholish Madjid pernah menyebutkan sebagai hal yang amat natural, dan
sekaligus merupakan kebutuhan esensial manusia. Manyangkut kecenderungan
manusia dalam beragama, yang sudah merupakan natur bagi setiap manusia itu,
setidaknya ada dua teori yang dikemukakan oleh para ahli.
1.
Teori
wahyu.
2.
Teori
antropologis,
BAB
III
ISLAM
DAN KRAKTRISTIKNYA
A. Penamaaan
Islam
Terkait dengan penamaan agama yang disampaikan oleh nabi
Muhammad saw dengan sebutan” islam “. Oleh karena itu menamakan agama islam
dengan muhamme danism, disamping salah dan merupakan penghinaan, sekaligus
berarti telah mengendikkan agama Kristen dengan paulusisma, yang hal itu tidak
relevan dengan eksistensi agama itu sendiri, dan karena itu mesti ditolak jadi
sebutan yang tepat terhadap agama yang disampaikan oleh nabi Muhammad adalah
islam, bukan mohammedanisme, dan sebutan seperti itu merupakan ketetapan dari
Allah sendiri dalam firmannya.
B. Pengertian
Islam
Islam adalah agama samawi penutup yang diturunkan tuhan
kedunia melalui seorang rasul. Misi utamanya adalah mengantarkan manusia menuju
pada kehidupan yang damai, harmonis,aman, tentram, sejahtra, dan bahagia tudak
hanya didunia, namun juga pada kehidupan akhirat.
C. Krakteristik
Islam
1.
Jangkauan
dan sasaran dakwah islam. Kita keteahui bahwa para utusan sebelum Muhammad
hanya diutus kepada kaum atau bangsa tertentu, sehingga misi dakwahnya besifat
local.
2.
Ajaran
islam bersifat waqiiyah, yakni berbijak pada kenyataan objektip manusia. Dengan
kata lain, ajaran islam itu sendiri dengan realitas dasar manusia.
D. Kerangka
Dasar Islam
1.
Aqidah
2.
syariah
3.
akhlak
E. Metode
Pemahaman Islam
1.
pendekatan
naqli ( teradisional )
pendekatan naqli adalah metode
memahami islam dengan langsung merujuk kepada makna harfiah atau makna tekstual
Al-Qur”an dan sunnah, tanpa memberikan peranan kepada akal dan hasil pemikiran
lainnya.
2.
Pendekatan
aqli ( rasional )
Pendekatan kedua ini cenderung pada
model pemahaman islam dengan menekankan pada rasionallitas dan spikualatif
3.
Pendekatan
kasyfi ( mistis )
Metode ini dipergunakan oleh para sufi untuk memperoleh
pengetahuan atau ma’rifah secara langsung dari Allah dengan instuisi sebagai
instruminnya, bukan melalui nalar.
BAB IV
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER DASAR
AJARAN ISLAM
A. Pengertian
Al-Qur’an
Secara etimologis, kata al-Qur’an mengandung arti bacaan
yang dibaca. Lafadz al-Qur’an berbentuk isim mashdar dengan “isim maf’ul lafadz
al-Qur’an dengan arti bacaan, misalnya dapat dilihat pada firman Allah yang
artinya sebagai berikutnya :
“janganlah, engkau menggerakkan lidahmu untuk terburu – buru
membacanya. Sesungguhnya menjadi tanggungan-ku mengumpulkan dan membacanya.
Maka apabila kami membacanya, maka ikutilah pembacaannya” (Qs.al-Qiyamah: 16-18
)
Pokok
yang mutlak terkandung dalam pengertian al-Qur’an adalah :
1.
Al-Qur’an
adalah kalamullah yang bersifat mu’jiz
2.
Al-Qur’an
adalah kitab suci yang khusus diturunkan kepada nabi Muhammad
3.
Metode
pewahyuan Al-Qur’an mesti melalui jibril, meski tidak semua yang diwahyukan
lewat jibril berwujud Al-Qur’an
4.
Al-Qur’an
bahasa arab, yang lafaz dan tentu juga maknanya berasal langsung dari Allah
5.
Al-Qur’an
adalah kalamullah yang eksistensinya sudah tertuliskan dalam mushaf
6.
Al-Qur’an
merupakan kalamullah yang membacanya saja sudah dinilai sebagai ibadah
7.
Al-Qur’an
merupakan kalamullah yang periwayatannya secara mutawatir.
B. Isi/Kandungan
Al-Qur’an
Seluruh umat Islam sepakat bahwa Islam yang disampaikan oelh
Muhammad adalah agama yang sempurna, dan bahkan paling sempurna.
Hal ini didasarkan pada Qs.al-ma’idah ayat 3 :
Artinya : “ Hari ini telah kesempurnaan untuk kamu
agamamu,dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai islam itu
jadi agamamu”
C. Otentisitas
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan satu – satunya kitab suci yang
terpelihara nilai otentisitasnya. Di dalam surat al-hijr ayat 9 Allah
menyatakan sendiri jaminan atas keaslian Al-Qur’an
Artinya
: ‘sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar –
benar memeliharanya ( Qs.Al-Hijr : 9 )
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Artinya :
Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.
Ayat
tersebut memuat janji Allah untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an.
1.
Bukti
Otentisitas Al-Qur’an dilihat dari ciri – cirri dan sifatnya
a. Keunikan Redaksi Al-Qur’an
b. Kemukjizatan Al-Qur’an
2.
Bukti
Otentisitas Al-Qur’an dilihat dari Aspek Kesejahteraannya
3.
Bukti
Otentisitas Al-Qur’an dilihat dari
Pengakuan pemikir Non-Muslim Banyak pemikir non-muslim yang mengakui secara objektif,
jujur dan ikhlas mengenai Otentisitas Al-Qur’an seperti :
a. Prof. George Sale, cendekiawan asal
Inggris
b. Prof. G. margoliouth
c. Dr. Joseph Charles mardus, seorang
pemikir perancis
D. Posisi
Al-Qur’an Dalam Studi Keislaman
Tak ada khilaf sedikitpun dikalangan umat islam, bahwa
al-Qur’an landasan pokok bagi syari’at islam.
E. Al-Qur’an
Sebagai Sistem Islam
1.
Perbedaan
metode dan kecenderungan dalam memahami Al-Qur’an
2.
Menyorot
pengertian tafsir bi al-Ma’thurdan bi al-ra’yi
a.
Tafsir
bi al-ma’Thur
1) Penafsiran ayat Al-qur’an dengan
ayat Al-Qur’an yang lain
2) Penafsiran ayat Al-qur’an dengan
hadits
3) Penafsiran ayat Al-qur’an dengan
atharsahabat
4) Kedudukan pendapat tabi’in dalam
menafsirkan al-Qur’an
b.
Tafsir
bi al-ra’yi
Menurut hemat penulis, tafsir bi
al-ra’yi adalah suatu jenis penafsiran yang dilakukan dengan mengembangkan
wancana-wancana tekstual ( nash – nash )
3.
Kondisi
( system ) penafsiran Pasca Rasul Allah
BAB
V
AL-
SUNNAH SEBAGAI DASAR OPERASIONAL ISLAM
A. Pengertian
Al- sunnah
Untuk menyambut apa yang berasal
dari nabi Muhammad, setidaknya ada dua istilah populer di kalangan masyarakat
islam yakni al-sunnah dan al- hadits. Dua istilah ini terkadang masih dianggap
kurang definitive, sehingga masih perlu dipertegas lagi menjadi hadits nabi dan
sunnah nabi atau Rasul.
B. Kedudukan
Sunnah Dan Hadith Dalam Islam
Umat islam sepakat bahwa sunnah
merupakan sumber kedua ajaran islam setelah Al- qur’an, meski dikalangan imam madzhab ada perbedaan dalam
penentuan syarat penerimaannya.
C. Fungsi
Sunnah Dalam Al-Qur’an
Adapun fungsi sunnah terhadap
Al-Qur’an selengkapnya telah disampaikan oleh Muhammad Abu zahu berikut ini :
Menegaskan kembali hokum – hokum yang sudah ditetapkan
Al- Qur ‘an. Disini hadist seakan – akan hanya mengulangi
ketetapan
Al- Qur ‘an, sehingga hokum itu memiliki dua sumber rujukan
dan atasnya terdapat dua dalil
yakni Al- Qur ‘an dan hadis sebagai missal dalam hal ini
adalah :
“ Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu makan harta
di antara kamu sekalian dengan cara batil” ( Qs.an-Nisa : 29 )
Terhadap ayat tersebut Rasulullah kemudian mengatakan :
“halal harta seorang muslim kecuali ( hasil pekerjaan ) yang
baik dari dirinya sendiri”
BAB
VI
IJTIHAD
SEBAGAI SUMBER DINAMIKA ISLAM
A. Pengertian
Dan Dasar Ijtihad
Ajaran islam, yang secara normatif terdapat dalam Al- Qur ‘an dan al- sunnah,
masih memerlukan penelahan dan pengkajian yang sungguh – sungguh secara
berkesinambu-ngan.
B. Persoalan
Ijtihad, Ittiba’ Dan Taqlid
1.
Persoalan
Ijtihad
Persoalan penting lain yang tidak dapat diabaikan dalam
melakukan ijtihaj adalah terpenuhinya syarat – syarat ijtihad.
Persoalan ittiba
2.
Ittiba
ialah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alas an
tersebut.
3.
Persoalan
taqlid
Taqlid berasal dari kata qallada – yuqallidu – taqlidan,
artinya mengikut, menurut, membututi, dibelakang, orang yang mengikut, menurut
dan mengikuti di belakang disebut muqallid.
C. Hukum
Dan Lapangan Ijtihad
Jika seorang muslim dihadapkan
kepada suatu peristiwa, atau ditanya mengenai suatu masalah yang berkaitan
dengan hokum syara maka hokum melakukan ijtihad ada bermacam – macam.
Sebagaimana diuraikan oleh wahbah al-Zuhaili, boleh jadi hukum ijtihad itu
adalah wajib’ain , wajib kifayah, sunnah dan bahkan atau haram, tergantung pada
kapasitas orang yang berangkutan.
D. Ijtihad
Sebagai Sumber Dinamakan Islam
Umat islam dituntut untuk keluar
dari kemelut itu, yakni dengan cara melakukan ijtihad. Oleh karena itu ijtihad
sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Adapun
kepentiangannya itu disebabkan oleh hal – hal berikut ini :
1. Jarak antara kita dengan masa
tasyri’ semakin jauh
2. Syariat disampaikan dalam al-Qur’an
dan alsunnah secara komprehensif, memerlukan penelahaan dan pengkajian yang
sungguh – sungguh.
BAB VII
ISLAM DAN STUDI AGAMASEBUAH
PELACAKAN SEJARAH
A. Islam
Dan Studi Agama
Islam
sebagai agama tidak dating ke dalam “ ruangan “ dan kondisi yang kosong. Islam
hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan kayakinan, tradisi dan
praktik – praktik kehidupan.
B. Urgensi
Dan Signifikansi Studi Islam
Agama adalah ibarat manusia. Untuk mengetahui perihal
manusia, harus dipergunakan dua cara :
1. Membaca ide dan pemikiran yang
bersangkutan yang tertuang dalam berbagai karangan, pernyataan dan
pekerjaannya.
2. Mempelajari bigrafinya
C. Perkembangan
Studi Islam
Untuk
kepentingan spesifik keilmuan, menurut penulis, perlu di bedakan wacana studi
islam sebagai bagian dari pradapan islam ( Islamic civilization ) dan studi
islam sebagai bagian dari kajian akademis ( islamologi ). Pembedaan itu
dilakukan bukan dengan menafikan realitas bahwa dinamika keduanya sering dalam
posisi saling mengisi.
D. Kecenderungan
Baru Studi Islam Di Barat
Sejak dua dekade terakhir ada kecenderungan baru dalam
kajian islam di barat yang menarik untuk dikaji. Secara umum, kajian Islam
dibarat sebelum dekade 70-an diwarnai oelh sikap “curiga” yang tinggi terhadap
islam. Ini terlihat dari karya – karya intelektual para orientalis yang
kebanyakan menyudutkan islam atau memperlihatkan warna anti islam.
E. Institusionalisasi
studi islam di Indonesia
Kajian islam di Indonesia bukanlah tumbuh dan berkembang
dari realita historis yang kosong, ia hadir secara kronologis dalam konteks
ruang dan waktu yang jelas, sebagai respon sejarah atas sejumlah persoalan
keagamaan yang dialami umat islam di negeri ini. Secara substantif, kajian
islam sebenarnya sudah dimulai semenjak agama ini datang ke Indonesia pada abad
13 dan mencapai momentum spritualnya pada abad ke 17. Kajian keislaman di masa
– masa ini diwarnai oleh proses tranformasi nilai keagamaan secara besar –
besaran yang dilakukan oleh para pemimpin sufi dan ulama terutama lembaga –
lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren.
BAB
VIII
ISLAM
DAN WANCANA BUDAYA KEAGAMAAN
A. Islam
Dan Wacana Social Budaya
Ada pertanyaan yang sangat mendasar sebelum kita jelaskan
apa kaitan islam dengan budaya.adalah dua bidang yang dapat dibedakan namun
tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan
waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah
dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat.
B. Islam
Dan Wacana Pembaharuan
Interaksi manusia dengan sesame, lingkungan, maupun dengan
kekuatan – kekuatan di luar dirinya selalu melahirkan perubahan – perubahan di
dalam kehidupannya. Dinamika kehidupan manusia dapat dipastikan identik dengan
lahirnya perubahan yaitu :
1. Landasan teologis pembaharuan islam
2. Watak dasar universal islam
3. Watak dasar terbuka islam
4. Makna pembaharuan islam dan
karakteristiknya
C. Islam
Dan Wacana Otentisitas
Islam ibarat bola salju ( snow ball ). Semakin lama dan
semakin jauh islam “ menggelinding” semakin banyak wajah yang akan muncul
sebagai gambarnya. Keragaman itu timbul karena persoalan ruang dan waktu.
Perbedaan ruang dan waktu itu akan melahirkan perbedaan tantangan yang akan
dihadapi oleh masyarakat. Karena tantangan berbeda, islam sebagai sebuah agama,
yang nota beneturunnya untuk memecahkan persoalan masyarakat, akan dipahami
oleh masyarakat bersangkutan sesuai dengan setting yang mereka hadapi. Maka muncullah
wajah yang beragam, baik secara sinkoronis ( antara masyarakat ditempat yang
satu dengan masyarakat di tempat lain pada waktu yang bersamaan ) maupun secara
diakronis ( antara generasi satu dengan lain, sebelum atau sesudahnya ), atau
bisa jadi antara setting wilayah geografis satu dengan wilayah lainnya. Islam
yang ada di Indonesia bisa jadi berbeda dengan di timur tengah. Hal ini
dikerenakan perbedaan pemahaman masyarakatnya akibat setting ruang yang tidak
sama. Begitu pula islam yang dipahami generasi abad pertengahan maupun abad
modern ini.
DAFTAR PUSTAKA
Blogger Comment
Facebook Comment