MAKALAH
METODOLOGI STUDI ISLAM
“FILSAFAT DAN
CABANG-CABANGNYA
AJARAN ISLAM
MENDORONG BERFILSAFAT”
Dosen Pengampu :
Dra. Siti Nurjanah, M. Ag.
Disusun oleh:
Anggun
Distarani
JURUSAN
SYARI’AH (PBS)
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO
METRO
2012/2013
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pertama-tama saya ingin mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang dengan rahmat dan inayah-Nya Makalah tentang Filsafat ini telah
selesai disusun untuk memenuhi tugas mandiri yang diberikan oleh dosen yang
bersangkutan.
Saya mengakui bahwa saya juga manusia
yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak semua hal
dapat terdeskripsikan dengan sempurna dalam makalah ini. Saya melakukannya
semaksimal mungkin dengan kemampuan yang saya miliki.
Maka, penulis bersedia menerima kritik
dan saran dari pembaca yang budiman. Saya akan menerima semua kritik dan saran
tersebut sebagai batu loncatan yang dapat memperbaiki makalah saya di masa yang
akan datang. Sehingga semoga makalah berikutnya dan makalah lain dapat terselesaikan
dengan hasil yang lebih baik.
Dengan menyelesaikan makalah ini saya mengharapkan banyak manfaat
yang dapat dipetik dan diambil dari makalah ini. Semoga makalah ini memberikan
informasi yang bermanfaat bagi masyarakat dan juga bermanfaat bagi pengetahuan
ilmu kita.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Metro,
9 November 2012
Anggun Distarani
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………........
KATA PENGANTAR………………………………………………...........
DAFTAR
ISI………………………………………………………...........
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….........
A.
Latar
Belakang……………………………………………….……...
B.
Rumusan
Masalah…………………………………………….……..
C.
Tujuan……………………………………………………………… .
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………...........
A.
Pengertian
Filsafat………………………………………….……......
B.
Cara
Berfilsafat…………………………………………….……......
C.
Cabang-cabang
Filsafat……………………………………….……..
D.
Aliran-aliran
Filsafat………………………………………………....
E.
Tujuan
Berfilsafat…………………………………………………....
F.
Manfaat
Berfilsafat……………………………………………….... .
BAB III PENUTUP…………………………………………….……..........
A.
Pemikiran
Penulis………………………………………………........
B.
Kesimpulan…………………………………………………….….....
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Mahasiswa
memiliki peran yang penting di masyarakat. Acapkali setiap peristiwa perubahan
penting yang terjadi di suatu Negara didorong oleh sebuah gerakan mahasiswa,
sehingga mahasiswa sering dianggap sebagai agent of change. Sebagai
kelompok muda yang mengenyam pendidikan tinggi, mahasiswa menjadi kelompok
harapan masa depan karena memiliki kelebihan dari sisi intelektual yang mereka
peroleh melalui sistem pendidikan. Walaupun mahasiswa tumbuh dan berkembang sesuai
jati dirinya, tidak sedikit mahasiswa yang terjebak ke dalam tujuan sederhana
dan sempit. Orientasi pengembangan dirinya hanya sebatas pemenuhan kewajiban
menempuh studi di perguruan tungginya masing-masing sesuai dengan bidang yang
ditekuninya. Akhirnya, mahasiswa tidak mampu keluar dan mengeluarkan diri serta
pikirannya untuk berkiprah lebih luas. Padahal di sisi lain mahasiswa dituntut
untuk mengembangkan daya intelektualnya dalam merespon berbagai perkembangan
pemikiran serta ilmu dan pengetahuan; mengembangkan kepekaan terhadap fenomena
sosial kemasyarakatan; serta mengembangkan kapasitas lain yang akan mendukung
kesuksesan di masa depan.
Jati diri sebagai mahasiswa tidak hanya sekedar
sebagai kelompok muda intelektual, tetapi jati dirinya yang berkaitan dengan
kedudukannya dan perannya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT di muka bumi
menuntut mereka untuk memiliki wawasan dan pandangan keagamaan yang benar.
Sosok manusia sempurna (Insan Kamil) dalam pandangan Islam seharusnya
menjadi acuan dan pedoman pengembangan kapasitas intelektual dan kiprah
mahasiswa baik yang berhubungan dengan Tuhannya, alam dan sesama manusia. Dalam
upaya pengembangan kapasitas intelektual, mahasiswa perlu mengakrabi berbagai
sejarah dan konsep pemikiran manusia yang terus berkembang melalui tradisi
membaca, mengkaji, berdiskusi bahkan menulis secara ilmiah. Dengan ini,
mahasiswa memiliki kemampuan untuk berdialog dengan berbagai pemikiran sehingga
memiliki posisi yang tegas terhadap berbagai pemikiran serta untuk meneguhkan
jati diri dan posisinya sebagai agent of change.
Berbagai hasil pemikiran manusia telah
mengantarkan kemajuan dunia saat ini. Di sisi lain arah kemajuan dunia yang
terbangun memberi berbagai dampak yang negatif terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Hal ini tidak bisa lepas dari bangunan pemikiran barat baik
filsafat, ilmu dan teknologinya yang mendekontruksi nilai-nilai kemanusiaan
(dehumansiasi). Parahnya dehumanusasi ini juga terjadi dalam dunia pendidikan.
Pendidikan dianggap berfungsi sebagai mesin produksi untuk menghasilkan manusia
yang cerdas dan terampil tetapi lemah dari segi nilai-nilai kemanusiaan.
Pandangan hidup barat yang diantara bercirikan materealis telah merasuki kaum
muda di negeri ini. Pandangan hidup materealis telah mengarahkan manusia untuk
hidup hedonis dan pragmatis.
Kebudayaan barat tidak selamanya bersifat
negatif, oleh karena itu perlu dikembangkan sikap kritis terhadap perkembangan
pemikiran dan produk dari kebudayaan barat tersebut baik. Dengan ini, mahasiswa
seharusnyalah membekali diri secara intelektual agar memiliki sikap kritis
terhadap pemikiran yang berkembang serta mampu mengkontruksi pengetahun dan
pandangan hidupnya sesuai dengan jati dirinya masing-masing. Sebagai seorang
mahasiswa muslim, mereka harus memiliki pandangan dunia yang mencerminan
keyakinannya sebagai muslim tetapi tetap bisa berdialog dengan berbagai corak
pemikiran yang berkembang. Mahasiswa diharapkan semakin terbuka wawasan
intelektualnya sebagai modal untuk berkiprah di masyarakat.
Salah
satu cara untuk mengembangkan kapasitas intelektual dan tradisi keilmiuan
mahasiswa yaitu melalui kajian filsafat. Kajian filsafat bukan hanya untuk
mengenal filsafat tetapi untuk mentradisikan berfilsafat. Berfilsafat berarti
berupaya melakukan pemikiran yang mendalam dan sistematis tertang berbagai
permasalahan yang berkembang agar memiliki posisi dan pandangan yang jelas
tentang suatu permasalahan tersebut. Filsafat
sering dianggap sebagai suatu hal yang sulit baik untuk dipelajari maupun untuk
dilakukan (berfilsafat). Hal apapun sebelum dipelajari pasti akan terasa sulit
untuk dipahami, tetapi filsafat lebih dari itu. Paling tidak itulah anggapan
umumnya.
Mendefinisikan filsafat tidaklah mudah, karena
pengertian filsafat yang ada adalah sejumlah para filsosof yang memberikan
definisinya masing-masing, sehingga secara subjektif para filosof memiliki
pengertiannya masing-masing. Dengat itu definisi yang mereka buat saling
melengkapi bahkan mungkin saja saling mendistorsi.
Socrates sebagai bapak dari filosof mengajukan
pertanyaan : “apakah manusia itu dan apakah yang merupakan kebaikan
tertinggi bagi manusia”. Muridnya, Plato mengatakan: “… filsafat memang
tidak lain daripada usaha mencari kejelasan dan kecermatan secara gigih yang
dilakukan secara terus menerus.” Yuyun S. Sumantri (1982) mengumpamakan
orang yang berfilsafat seperti orang yang pijak di bumi sedang tengadah ke
bintang-bintang. Dia ingin mengetahu hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi.
Atau seseorang yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di
bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.
Dalam filsafat dipertanyaan tentang segala hal
secara mendasar paling tidak mencakup tentang Tuhan, alam dan manusia. Tetapi
tidak semua pertanyaan merupakan pertanyaan filsafat, ada pertanyaan yang hanya
bersifat pragmatis atau ilmiah. Filsafat mempertanyakan sesutu yang tidak bisa
dijangkau ilmu pengetahuan, karena itu menurut Will Duran, filsafat dapat
diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan
infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya
adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan
keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan,
menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.
Filsafat merintis berbagai lapangan ilmu pengetahuan, sehingga berkembang
menjadi teknologi bagi manusia, setelah itu filsafat bisa mempertanyakan
kembali bagaimana ilmu pengatahuan yang sudah berkembang itu, mempertanyakan
hal-hal lain yang masih belum terjangkau.
Tradisi
filsafat yang diawali dari Yunani Kuno justru diawali dengan mempertanyakan
hakikat materi dari alam. Socrates melakukan perubahan dengan memfokuskan
filsafat pada diri manusia itu sendiri. Berkembanglah filsafat melalui muridnya
Plato dan kemudian Aristoteles yang kita kenal. Terutama Aristoteles telah
merintis berbagai cabang keilmuan baik tentang alam mauapun tentang manusia.
Dari Yunani kemudian filsafat berkembang dalam kebudayaan Islam. Pengaruh
filsafat ini, dirasakan oleh umat Islam mulai pada akhir abad pertama hijriah
yang disebut gelombang Hellenisme. Mulailah para intelektual Islam
menterjemahkan, mengeomentari, menafsirkan bahkan mengembangkan tradisi
filsafat yang bercorak Islam. Filsafat digunakan untuk memberi kedudukan yang
lebih kuat pada dasar-dasar keyakinan
dalam Islam, sekalipun sering diangap sebagai suatu tradisi asing dalam tradisi
Islam. Kita kenal Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Arabi, dan Ibnu Rusyd di antara
sebagian filosof muslim sekaligus yang meretas perkembangan tradisi
perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Pada saat itu, di dunia barat
sedang mengalami masa abad pertengahan yan gelap, filsafat dan ilmu pengetahuan
terpinggirkan dan tidak bekembang. Setalah itu, itu barulah barat kembali
memegang kendali setelah era renaissance. Barat kemudian berjaya di abad
modern dalam bidang filsafat, ilmu pengatahuan dan teknologi. Ditandai dengan
lahirnya filosof-filosof seperti Descartes, Spinoza, Leibniz, Heigel, Heideger,
Laplace dan lainnya. .Walaupun tradisi filsafat di dunia Islam tidak berhenti
begitu saja, namun pengaruhnya secara berangsur berkurang.
Kattsoff
(2004) memberikan petunjuk untuk memahami apa filsafat itu, yaitu :
·
filsafat membawa kita kepada pemahaman dan
tindakan;
·
keinginan filsafat adalah pemikiran secara
ketat;
·
filsafat memandang segala sesuatu dari sudut
pandang keabadian; serta
·
filsafat merupakan pemikiran secara sistematis.
Karena
filsafat dianggap sebagai sebuah cara berpikir, maka ciri pikiran filsafat
adalah sebagai berikut.
·
Perenungan kefilsafatan berusaha untuk menyusun
suatu bagan konspetual.
·
Sebuah sistem filsafat harus bersifat koheren.
·
Filsafat merupakan pemikiran rasional.
·
Filsafat senantiasa bersifat menyeluruh
(komprehensif)
·
Filsafat berusaha memahami segenap kenyataan
dengan jalan menyusun suatu pandangan dunia yang memberikan keterangan tentang
dunia dan semua hal yang ada di dalamnya.
Filsafat secara singkat dapat dianggap sebagai berpikir yang
bersifat menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Spekulatif di sini merupakan
spekulatif yang didasarkan pada argumentasi yang logis dan sahih.
Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang
mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata
lain: Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat
kebenaran segala sesuatu. Seperti
telah dikatakan, ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Yang
ditujunya ialah mencari hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam
kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat
atau keaslian (metafisika). Maka persoalannya menjadi apakah sesuatu itu hakiki
(asli) atau palsu (maya).
Dari tinjauan di atas kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa dalam tiap-tiap pembagian sejak zaman Aristoteles hingga dewasa ini
lapangan-lapangan yang paling utama dalam ilmu filsafat selalu berputar di
sekitar logika, metafisika, dan etika.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah filsafat itu?
2.
Bagaimana cara berfilsafat?
3.
Apa saja cabang-cabang dalam
filsafat?
4.
Apa saja aliran-aliran dalam
filsafat?
5.
Apa tujuan berfilsafat?
6.
Apa manfaat berfilsafat?
C. TUJUAN
1.
Mengetahui arti filsafat.
2.
Mengetahui bagaimana cara
berfilsafat.
3.
Mengetahui cabang-cabang dalam
filsafat.
4.
Mengetahui aliran-aliran dalam
filsafat.
5.
Mengetahui tujuan berfilsafat.
6.
Mengetahui manfaat filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN FILSAFAT
Istilah “filsafat” dapat ditinjau
dari dua segi, yakni:
·
Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab ‘falsafah’, yang
berasal dari bahasa Yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ = cinta, suka
(loving), dan ‘sophia’ = pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi ‘philosophia’
berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya,
setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada
pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa Arabnya ‘failasuf”. Pecinta
pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya,
atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
·
Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti ‘alam
pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua
berpikir bererti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah
filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi
secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir
adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu
dengan sungguh-sungguh dan mendalam.
Tegasnya: Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan
memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: Filsafat adalah ilmu yang
mempelajari dengan sungguh-sungguh
hakikat kebenaran segala sesuatu.1
1.
Beberapa definisi
tentang filsafat
Karena luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil
kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara
berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf Barat
dan Timur di bawah ini:
a.
Plato (427SM – 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur murid Socrates
dan guru Aristoteles, mengatakan: Filsafat adalah pengetahuan tentang segala
yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
b.
Aristoteles (384 SM – 322SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki
sebab dan asas segala benda).
c.
Marcus Tullius Cicero (106 SM – 43SM) politikus dan ahli pidato Romawi,
merumuskan: Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan
usaha-usaha untuk mencapainya.
d.
Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina,
mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan
menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
e.
Immanuel Kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir Barat,
mengatakan : Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang
mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:
·
Apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)
·
Apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)
·
Sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)
2.
Beberapa Kesimpulan Para Ahli Tentang Arti
Filsafat
a.
Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar psikologi UI, menyimpulkan: Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya
suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan
penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada
kesimpulan-kesimpulan yang universal.
b.
Drs H. Hasbullah Bakry merumuskan: ilmu filsafat adalah ilmu yang
menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan
manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya
sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu
seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
c.
Menurut Harun
Nasution yang di kuip oleh Zuhairini dkk[2],,
filsafat berasal dari bahasa yunani yang tesusun dari dua kata ‘’philein’’dalam
arti cinta dan “sophos’’ dalam arti hikmat (wisdom).Selanjutnya beliau
mendifinisikan filsafat sebagai berikut:
1)
Pengetahuan tentang
hikmah
2)
Pengetahuan tentang
prinsip atau dasar dasar
3)
Mencari kebenaran
4)
Memebahas dasar –
dasar dari apa yang dibahas
Selain itu, filsafat juga dapat berarti mencari hakikat
sesuatu,berusaha menautkan sebab dan akibat,dan berusaha menafsirakn pengalaman-pengalaman manusia.[3]
Filsafat,menurut Sidi Gazalba adalah sistem kebenaran
tentang segala sesuatu yang di persoalkan sebagai hasil dari berfikir secara
radikal, sistematika, dan universal. Radikal berarti berfikir sampai ke akar-akarnya, sistematika berarti berfikir logis, dan univeral berarti umum, tidak terbatas pada bagian-bagian tertentu. Berdasarkan tempat berkembang nya, filsafat Islam
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pemikiran filsafat Islam yang berkembang di
dunia Islam bagian Timur dan Barat. Adapun filosof islam bagian Timur adalah;
al-Kindi, al- Farabt, Ibn Sina. Sedangkan para filosof islam dibagin Barat adalah Ibn
Tufail, Ibn Bajjah dan Ibn Rusyd. Pemikiran para filosof muslim bervariasi, seputar masalah metafisika
(ketuhanan), fisika, jiwa dan akal (teori pengetahuan). Berdasarkan uraian
diatas, maka dapat
di pahami bahwa filsafat pada intinya adalah sesuatu proses atau usaha untuk
mencaru hakikat sesuatu dibalik yang nyata. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar,inti,hikmah dan
sesuatu yang tampak (lahiriah).
3.
Pemikiran
Filsafat Ibnu Sina
a.
Filsafat Wujud.
Bagi Ibnu
Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala
sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat
dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap
essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi
tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak
mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan
falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof-filosof lain.
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat
mempunyai kombinasi berikut :
1)
Essensi
yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu
Sina mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud ( impossible being).
2)
Essensi
yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa
ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi
mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak
ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3)
Essensi
yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa
dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi
tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya
dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai
wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan.
Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al-wujud.[4]
Dalam
pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya
Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada: baharu
(al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah
didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga
mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu,
yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa-apa. Pendirian ini
mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk
ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu
lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib[38]. Untuk
menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula
“bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin,
bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak
Qadim, sebelum Zaman.[5]
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara
pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para
mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang
Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina
dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah
“kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat
disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid)
yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu.
Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan)
itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain
(wujud muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib
dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru,
tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”.
Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada
sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu
lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan
- akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina
sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada
tujuan sama sekali.
Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak
mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”,
seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas. Yang
dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang
paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian”
pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah
itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan
perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang
sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah
melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih - lebih lagi pada dzat-Nya.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk
tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama,
seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib
darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari
pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara
mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti
ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang
berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara
gradua untuk memperoleh kesempurnaan.[6]
Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan
pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama
yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka
kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan
tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan
dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles
tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.
b. Falsafat Wahyu dan Nabi
Pentingnya
gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah
diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”,
keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita
petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal
manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal
aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang
terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia
akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu
intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga
tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan
dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini
mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia
dan terdapat hanya pada nabi-nabi.[7]
Jadi wahyu
dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi
orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka.
Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu
teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak
pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan
kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol- simbol.
Namun sejauh mana wahyu itu mendorong?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan
wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai,
dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun
kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi
perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi-memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang
sebenarnya.
B.
CARA BERFILSAFAT
Berfilsafat merupakan kegiatan berpikir yang
sistematis, kritis, menyeluruh, mendasar, koheren dan juga bisa spekulatif.
Kegiatan berpikir ini memerlukan niat dan kehendak yang kuat, karena tidak
semua orang bisa berfilsafat. Dalam kadar tertentu cara-cara berpikir filsafat
bisa diterapkan dalam kehidupan sehari, walaupun belum diangap benar-benar
berfilsafat.
Paling tidak ada 2 (dua) metode yang digunakan oleh
seorang untuk berfilsafat, yaitu (1) analisis dan (2) sintesis. Maksud pokok
mengadakan analisis ialah melakukan pemeriksaan konsepsional atas makna yang
dikandungi oleh istilah-istilah yang digunakan dan pernyataan yang dibuat.
Analisis dapat diarahkan untuk memaknai sebuah pernyataan walaupun makna tidak
identik dengan kebenaran. Metode analisis ini melahirkan filsafat yang
berorientasi pada kritik terhadap suatu pertanyaan dan pernyataan kefilsafatan.
Sementara sintesis yang berarti pengumpulan sebagai lawan dari analisa yang
berarti rincian. Maksud sintesis yang utama adalah mengumpulkan semua
pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan dunia. Inilah
yang sering diangap melahirkan filsafat yang spekulatif. Seperti yang
ditegaskan di awal, spekulatif yang dilakukan adalah spekulatif yang
argumentatif. Untuk mendukung terhadap metode di atas, diperlukan seperangkat
metodologi seperti, logika, induksi, deduksi, analogi dan komparasi. Perangkat-perangkat inilah yang dapat
menjadi modal bagi seseorang untuk berfilsafat.
Logika ialah ilmu pengetahuan mengenai
penyimpulan yang lurus. Logika menguraikan tentang aturan-aturan serta
cara-cara untuk mencapai kesumpulan, setelah didahului oleh suatu perangkat
premis. Logika dibagi dalam dua cabang pokok yaitu logika deduktif dan logika
induktif. Logika deduktif membicarakan cara-cara untuk mencapai
kesimpulan-kesimulan bila lebih dahului telah diajukan pertanyaan-pertanyaan
mengenai semua atau sejumlah ini diantara suatu kelompok barang sesuatu.
Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat yang
bersifat keharusan dari pernyataan-pernyataan yang lebih dahulu diajukan.
Logika induktif membicarakan tenatang penarikan kesimpulan buka dari
pernyataan-pernyataan yang umum, melainkan dari pernyataan-pernyataan khusus.
Penalaran secara analogi adalah berusaha
mencapai kesimpulan dengan menggantikan apa yang dicoba dibuktikan dengan
sesuatu yang serupa dengan hal tersebut, namun yang lebih dikenal, dan kemudian
menyimpulkan kembali apa yang mengawali penalaran tersebut.
Sebuah penalaran perlu diverifikasi keabsahannya,
apakah sah tidak untuk digunakan untuk penalaran. Ada dua cara untuk melakukan
verifikasi, yaitu observasi dan penggunaan hokum kontradiksi. Melalui
observasi, suatu pernyataan yang maknanya dapat diuji dengan pengalaman yang
dapat diulangi, baik oleh orang yang mempergunakan pernyataan tersebut maupun
oleh orang lain. Dengan hukum kontradiksi, orang bisa kesesatan pernyataan yang
dipersoalkan karena bertentangan dengan dirinya, atau mengakibatkan
pertentangan dengan pernyataan-pernyataan lain yang telah ditetapkan dengan
baik.
Demi melakukan keabsahaan sebuah pernyataan, paling tidak ada
beberapa kebenaran yang bisa diacu, yaitu : teori koherensi, teori
korespondensi, dan teori pragmatis. Menurut teori koherensi, sebuah pernyataan
dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori kebenaran ini
selaras dengan penalaran deduktif. Sementara menurut teori korespondensi, suatu
pernyataan dianggap benar jika materi pengetahuan yang terkandung pernyataan
itu berkorenpondensi dengan objek
yang dituju dalam pernyataan tersebut. Teori korespondensi ini selaras dengan
penalaran induktif. Baik teori koherensi maupun teori korespondensi sering
dipakai dalam cara berpikir ilmiah. Sementara teori kebenaran pragmatis,
menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersbut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Bagaimana cara memulai dan melakukan
perenuangan kefilsafatan? Kattsoff (2004) merunut langkah-langkah sebagai
berikut.
·
Menyadari adanya masalah
·
Meragukan dan menguji secara rasional
anggapan-anggapan
·
Memeriksa penyelesaian-penyelesaian yang terdahulu
·
Menyarankan hipotesa
·
Menguji konsekuensi-konsekuensi
·
Menarik kesimpulan.
Pada dasarnya, aktivitas berfilsafat
adalah upaya berpikir yang ketat. Mungkin saja berfilsafat baru hanya sampai
pada meragukan dan menguji secara rasional anggapan-anggapan. Sampai di sini
pun, kita perlu pengalaman dan upaya yang serius untuk menekuninya. Untuk
mengkaji tentang “keadilan” diperlukan upaya mengkaji referensi atau
pemikiran-pemikiran yang terdahulu sehingga ketika bermaksud mengajukan
kesimpulan baru, maka hal itu didasarkan pada berbagai pandangan yang terdahulu
yang sudah dikritisi.
Cara kerja berpikir filsafat ini, bagi sebagian
filosof mungkin bisa bervariasi bergantung kepada pandangan dan corak filsafat
mereka. Termasuk dalam hal ini
bagaimana cara berfilsafat
filosof muslim, walaupun melanjutkan tradisi filsafat Yunani, tetapi memiliki
corak yang berbeda. Walaupun para filosof muslim berfilsafat untuk menemukan
pandangan-pandangan tentang ketuhanan, alam dan manusia, tetapi mereka tetapi
bertujuan untuk memperteguh prinsip-prinsip beragama dalam Islam. Berbagai
pertentangan pemikiran antar mereka juga memberikan corak pada pemikiran Islam,
tidak sedikit dipandang “menyimpang” dari ajaran Islam.
C.
CABANG-CABANG FILSAFAT
Telah kita ketahui bahwa filsafat
adalah sebagai induk yang mencakup semua ilmu khusus. Akan tetapi, dalam
perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu khusus itu satu demi satu memisahkan diri
dari induknya, filsafat. Mula-mula matematika dan fisika melepaskan diri,
kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu lain. Adapun psikologi baru pada akhir-akhir
ini melepaskan diri dari filsafat, bahkan di beberapa insitut, psikologi masih
terpaut dengan filsafat.
Setelah filsafat ditinggalkan
oleh ilmu-ilmu khusus, ternyata ia tidak mati, tetapi hidup dengan corak baru
sebagai ‘ilmu istimewa’ yang memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh
ilmu-ilmu khusus. Yang menjadi pertanyaan ialah : apa sajakah yang masih
merupakan bagian dari filsafat dalam coraknya yang baru ini? Persoalan ini
membawa kita kepada pembicaraan tentang cabang-cabang filsafat.
Ahli filsafat biasanya mempunyai pembagian yang berbeda-beda. Coba
perhatikan sarjana-sarjana filsafat di bawah ini:
1.
H. De Vos menggolongkan filsafat sebagai berikut:
·
metafisika,
·
logika,
·
ajaran tentang ilmu pengetahuan
·
filsafat alam
·
filsafat sejarah
·
etika,
·
estetika, dan
·
antropologi.
2.
Prof. Albuerey Castell membagi masalah-masalah filsafat menjadi enam
bagian, yaitu:
·
masalah teologis
·
masalah metafisika
·
masalah epistomologi
·
masalah etika
·
masalah politik, dan
·
masalah sejarah
3.
Dr. Richard H. Popkin dan Dr Avrum Astroll dalam buku mereka, Philosophy
Made Simple, membagi pembahasan mereka ke dalam tujuh bagian, yaitu:
·
Section I Ethics
·
Section II Political Philosophy
·
Section III Metaphysics
·
Section IV Philosophy of Religion
·
Section V Theory of Knowledge
·
Section VI Logics
·
Section VII Contemporary Philosophy,
4.
Dr. M. J. Langeveld mengatakan: Filsafat adalah ilmu Kesatuan yang terdiri
atas tiga lingkungan masalah:
·
lingkungan masalah keadaan (metafisika manusia, alam dan seterusnya)
·
lingkungan masalah pengetahuan (teori kebenaran, teori pengetahuan, logika)
·
lingkungan masalah nilai (teori nilai etika, estetika yangb ernilai
berdasarkan religi)
5.
Aristoteles, murid Plato, mengadakan pembagian secara kongkret dan
sistematis menjadi empat cabang, yaitu:
a.
Logika. Ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.
b.
Filsafat teoretis. Cabang ini mencangkup:
·
ilmu fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata ini,
·
ilmu matematika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu
dalam kuantitasnya,
·
ilmu metafisika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu. Inilah yang paling utama dari filsafat.
c.
Filsafat praktis. Cabang ini mencakup:
·
ilmu etika, yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perseorang
·
ilmu ekonomi, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran di dalam negara.
d.
Filsafat poetika (Kesenian).
Pembagian Aristoteles ini merupakan permulaan yang baik sekali bagi
perkembangan pelajaran filsafat sebagai suatu ilmu yang dapat dipelajari secara
teratur. Ajaran Aristoteles sendiri, terutama ilmu logika, hingga sekarang
masih menjadi contoh-contoh filsafat klasik yang dikagumi dan dipergunakan.
Walaupun pembagian ahli yang satu
tidak sama dengan pembagian ahli-ahli lainnya, kita melihat lebih banyak
persamaan daripada perbedaan. Dari pandangan para ahli tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa filsafat dalam coraknya yang baru ini mempunyai beberapa
cabang, yaitu metafisika, logika, etika, estetika, epistemologi, dan
filsafat-filsafat khusus lainnya.
1.
Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang
bersifat transenden, di luar jangkauan pengalaman manusia.
2.
Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah.
3.
Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk.
4.
Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek.
5.
Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan.
6.
Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat agama, filsafat manusia,
filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya.
Seperti telah dikatakan, ilmu filsafat itu sangat luas lapangan
pembahasannya. Yang ditujunya ialah mencari hakihat kebenaran dari segala
sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), maupun
dalam mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Maka persoalannya menjadi
apakah sesuatu itu hakiki (asli) atau palsu (maya).
Dari tinjauan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam tiap-tiap
pembagian sejak zaman Aristoteles hingga dewasa ini lapangan-lapangan yang
paling utama dalam ilmu filsafat selalu berputar di sekitar logika, metafisika,
dan etika.
D.
ALIRAN-ALIRAN
DALAM FILSAFAT
Aliran-aliran yang terdapat dalam filsafat sangat banyak dan kompleks. Di
bawah ini akan kita bicarakan aliran metafisika, aliran etika, dan
aliran-aliran teori pengetahuan,aliran-aliran lainnya dalam filsafat.
Aliran-aliran yang terdapat alam filsafat sangat banyak dan
kompleks antara lain:
1.
Aliran-aliran Metafisika
Menurut
sutan Takdir Alisyahbana, Aliran Metafisika ini terbagi menjadi dua, yaitu: golongan tentang kuantitas dan golongan tentang kualitas (sifat)8[8] terdiri
dari :
a.
Monisme, yaitu aliran yang mengemukakan bahwa unsur pokok
segala yang ada ini adalah esa (satu).
b.
Dualisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa unsur pokok segala yang
ada ini ada dua, yaitu roh
dan benda.
c.
Pluralisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa unsur pokok
hakekat kenyataan ini banyak, misalnya: udara, api, tanah, dan air.
2.
Aliran-aliran Etika
Aliran-aliran penting dalam etika banyak sekali, antara lain:
a.
Naturalisme,yaitu
aliran yang berpendapat bahwa kebahagiaan manusia itu diperoleh dengan
mempertaruhkan panggilan natural (fitrah) kejadian manusia itu sendiri. Hedonisme, yaitu aliran, yang mengangap ukuran perbuatan yang baik adalah
kenikmatan (Hedone)9.
b.
Utilarisme yaitu
aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia di tinjau dari besar
dan kecilnya manfaat bagi manusia
c.
yaitu aliran yang
berpendapat bahwa perbuatan manusia di dasarkan atas prinsip kerohanian yang
lebih tinggi.
d.
Vitalisme,yaitu
aliran yang menilai baik buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada
atau tidak adanya daya hidup (vital)
yang maksuum yang mengendalikan perbuatan itu.
e.
Teologis, yaitu
aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya manusia itu dinilai
dengan sesuai atau tidak sesuainya dengan perintah Tuhan ( Theos = Tuhan).10[9]
3. Aliran-aliran teori pengetahuan
Aliran ini mencoba menjawab
pertanyaan, bagaimana manusia mendapat pengetahuannya sehingga pengetahuan itu
benar dan berlaku.
Pertama, golongan yang
mengemukakan asal atau sumber pengetahuan. Termasuk ke dalamnya:
a.
Rationalisme, yaitu aliran yang mengemukakan bahwa sumber pengetahuan
manusia ialah pikiran, rasio dan jiwa manusia.
b.
.Empirisme, yaitu aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia itu
berasal dari pengalaman manusia, dari dunia luar yang
ditangkap pancainderanya.
c.
Kritisisme (transendentalisme), yaitu aliran yang berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu berasal dari luar maupun dari jiwa manusia itu
sendiri.
Kedua, golongan yang mengemukakan
hakikat pengetahuan manusia. Termasuk ke dalamnya:
a.
Realisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu
adalah gambar yang baik dan tepat dari kebenaran dalam pengetahuan yang baik
tergambarkan kebenaran seperti sungguh-sungguhnya ada.
b. Idealisme, yaitu aliran yang
berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa
manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu sekaliannya terletak di
luarnya.
4.
Aliran-aliran lainnya dalam filsafat
Di samping aliran-aliran di atas, masih banyak aliran yang lain dalam
filsafat. Aliran-aliran itu antara lain ialah:
a.
Eksistensialisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa filsafat harus
bertitik tolak pada manusia yang kongkret, yaitu manusia sebagai eksistensi,
dan sehubungan dengan titik tolak ini. maka bagi manusia eksistensi itu
mendahului esensi.
b.
Pragmatisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa benar dan tidaknya sesuatu
ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung pada berfaedah atau tidaknya
ucapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak di dalam
kehidupannya.
c.
Fenomenologi, yaitu aliran yang berpendapat bahwa hasrat yang kuat untuk
mengerti yang sebenarnya dan keyakinan bahwa pengertian itu dapat dicapai jika
kita mengamati fenomena atau pertemuan kita dengan realitas.
d.
Positivisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa filsafat hendaknya semata-mata
berpangkal pada peristiwa yang positif, artinya peristiwa-peristiwa yang
dialami manusia.
e.
Aliran filsafat hidup, yaitu aliran yang berpendapat bahwa berfilsafat
barulah mungkin jika rasio dipadukan dengan seluruh kepribadian sehingga
filsafat itu tidak hanya hal yang mengenai berpikir saja, tetapi juga mengenai
ada, yang mengikutkan kehendak, hati, dan iman, pendeknya seluruh hidup.
E.
TUJUAN BERFILSAFAT
Menurut Harold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha memahami alam semesta,
maknanya dan nilainya. Apabila tujuan ilmu adalah kontrol, dan tujuan seni
adalah kreativitas, kesempurnaan, bentuk keindahan komunikasi dan ekspresi,
maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (understanding and
wisdom).
Dr Oemar A. Hoesin mengatakan: Ilmu memberi kepada kita pengatahuan, dan
filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberikan kepuasan kepada keinginan
manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran.
S. Takdir Alisyahbana menulis dalam bukunya: filsafat itu dapat memberikan ketenangan
pikiran dan kemantapan hati, sekalipun menghadapi maut. Dalam tujuannya yang
tunggal (yaitu kebenaran) itulah letaknya kebesaran, kemuliaan, malahan
kebangsawanan filsafat di antara kerja manusia yang lain. Kebenaran dalam arti
yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya baginya, itulah tujuan yang tertinggi
dan satu-satunya. Bagi manusia, berfilsafat itu bererti mengatur hidupnya
seinsaf-insafnya, senetral-netralnya dengan perasaan tanggung jawab, yakni
tanggung jawab terhadap dasar hidup yang sedalam-dalamnya, baik Tuhan, alam,
ataupun kebenaran.
Radhakrishnan dalam bukunya, History of Philosophy, menyebutkan: Tugas
filsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup,
melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai,
menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat
hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru,
mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan
‘nation’, ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan.
Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam
ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Studi filsafat harus membantu orang-orang untuk membangun keyakinan keagamaan
atas dasar yang matang secara intelektual. Filsafat dapat mendukung kepercayaan
keagamaan seseorang, asal saja kepercayaan tersebut tidak bergantung pada
konsepsi prailmiah yang usang, yang sempit dan yang dogmatis. Urusan (concerns)
utama agama ialah harmoni, pengaturan, ikatan, pengabdian, perdamaian,
kejujuran, pembebasan, dan Tuhan.
Berbeda dengan pendapat Soemadi Soerjabrata, yaitu mempelajari filsafat
adalah untuk mempertajamkan pikiran, maka H. De Vos berpendapat bahwa filsafat
tidak hanya cukup diketahui, tetapi harus dipraktekkan dalam hidup
sehari-sehari. Orang mengharapkan bahwa filsafat akan memberikan kepadanya
dasar-dasar pengetahuan, yang dibutuhkan untuk hidup secara baik. Filsafat
harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup secara baik. Filsafat harus
mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup agar dapat menjadi manusia yang baik
dan bahagia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat adalah mencari
hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika
(berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).
F.
MANFAAT BERFILSAFAT
Ketika gelombang pemikiran filsafat masuk ke
dalam dunia Islam yang disebut gelombang Hellenisme, tujuan utama para
sarjana muslim adalah untuk memperteguh dan memperkuat prinsip-prinsip ajaran
Islam melalui filsafat. Upaya ini bukan untuk mengganti sumber-sumber keyakinan
dalam Islam. Hasilnya adalah lahirnya berbagai corak pemikiran dalam Islam yang
terpengaruh oleh filsafat baik yang saling melengkapi maupun yang bertentangan.
Tidak sedikit dialog kritis antara filosof dan sarjana muslim tentang suatu
hal. Para sarjana Islam tidak sertamerta mengadopsi begitu saja suatu pemikiran
filsafat, tetapi mengkritisinya, memilah dan memilih yang pada akhirnya mampu
mengembangkan corak baru dalam bersifat. Melalui studi filsafat ini, ternyata
melahirkan tradisi rasional sarjana Islam sehingga mampu mengembangkan berbagai
bidang keilmuan seperti sains, kedokteran dan politik, baik yang telah
berkembang lebih dulu dalam tradisi Yunani maupun pengembangan baru sama
sekali.
Tidak sedikit juga para ilmuan Islam yang
menentang filsafat karena dianggap bisa mengganggu keotentikan ajaran Islam dan
dianggap berbahaya bagi ummat Islam karena bisa saja justru menjauh dari
tradisi keilmuan khas Islam yang disebut ilmu-ilmu agama (ulumuddin).
Imam Al-Gazhali bahkan mengarang buku Ihya Ulumuddin sebagai upaya
membangkitkan kembali perhatian ummat Islam kepada khazanah keilmuan Islam
setelah sekian lama terlena dengan pemikiran Yunani. Inilah juga ternyata
dianasir yang menyebabkan kemunduran ummat Islam itu sendiri.
Apa relevansinya berfilsafat saat ini untuk
sebagian ummat Islam. Jaman terus bergerak, kebudayaan barat yang ditopang oleh
pandangan dunia barat modern tidak bisa dilepaskan oleh pemikiran-pemikiran
barat yang berasal dari filsafat-filsafat barat modern. Barat membangun dunia
ini berdasarkan pandangan dunianya yang ternyata cenderung materealistik.
Berdasarkan hal itu, ketika ummat Islam berupaya kembali untuk mengangkat
kejayaan umat Islam maka kita perlu memahami kebudayaan-kebudayaan yang telah
berkembang terutama kebudayaan barat yang mengguasai segala aspek dunia. Kita
perlu mengembangkan pemikiran kritis terhadap pemikiran sekarang sebelum kita
berusaha mengembangkan kembali pemikiran Islam sebagai alternatif pandangan
dunia barat dan kehidupannya yang semakin hancur terutama dari sisi moral.
Bagi mahasiswa
Islam, penguasaan berbagai pemikiran yang ada sangat penting dilakukan dalam
upaya untuk membangun kapasitas pemikirannya yang nanti bisa berperan dalam
percauran meikiran maupun dalam upaya memecahkan permasalahan di masyarakat.
Paling tidak, mahasiswa harus mampu berpikir kritis sebagai awal untuk mengkontruksi
pengetahuan dan pemikiran secara produktif serta menghasilkan karya yang
bermanfaat.
Filsafat sering dianggap teori belaka, yang jauh dari kenyataan hidup
konkret. Akan tetapi, filsafat ada segi praktisnya juga. Sikap dan pandangan
yang dipertanggungjawabkan, seperti yang kita cari dalam filsafat, dengan
sendirinya akan mempengaruhi sikap kita praktis juga. Kebijaksanaan tidak hanya
berarti “pengetahuan yang mendalam”, tetapi juga “sikap hidup yang benar”, yang
tepat, sesuai dengan pengetahuan yang telah dicapai itu. Ini nampak dengan
jelas terutama pada pelajaran etika dan logika yang bersama-sama memberikan
pegangan dan bimbingan kepada pikiran dan kepada kehendak, agar hidup dengan
‘benar’ dan ‘baik’. maka konkretnya:
1
Filsafat menolong mendidik, membangun diri kita sendiri: dengan berpikir
lebih mendalam, kita mengalami dan menyadari kerohanian kita. Rahasia hidup
yang kita selidiki justru memaksa kita untuk berpikir untuk hidup
sesadar-sadarnya, dan memberikan isi kepada hidup kita sendiri.
2
Filsafat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan
persoalan-persoalan dalam hidup sehari-hari. Orang yang hidup secara “dangkal”
saja, tidak mudah melihat persoalan-persoalan, apalagi melihat pemecahnya.
Dalam filsafat kita dilatih melihat dulu apa yang menjadi persoalan, dan ini
merupakan syarat mutlak untuk memecahkannya.
3
Filsafat memberikan pandangan yang luas, membendung “akuisme” dan
“aku-sentrisme” (dalam segala hal hanya melihat dan mementingkan kepentingan
dan kesenangan si aku).
4
Filsafat merupakan latihan untuk berpikir sendiri, hingga kita tak hanya
ikut-ikutan saja, membuntut pada pandangan umum, percaya akan setiap semboyan
dalam surat-surat kabar, tetapi secara kritis menyelidiki apa yang dikemukakan
orang, mempunyai pendapat sendiri, “berdiri-sendiri”, dengan cita-cita mencari
kebenaran.
5
Filsafat memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri (terutama
dalam etika) maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lainnya, seperti sosiologi,
ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
HASIL
PEMIKIRAN PENULIS:
Setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa:
Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang
mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan
biasa karena masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
Filsafat adalah hasil daya upaya manusia
dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral
serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu:
Hakikat Tuhan, hakikat alam semesta, dan hakikat manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi
dari paham tersebut. Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya
tidak bertentangan, hanya cara mengesahkannya saja yang berbeda.
Cara memahami
filsafat yang paling mudah bisa dilakukan adalah dengan berfilsafat itu
sendiri. Tapi kegiatan berfilsafat perlu ketekunan dan keseriusan. Paling tidak
kita bisa berfilsafat secara sederhana dengan membangun pemikiran kritis
terhadap berbagai hal yang menjadi fokus permasalahan yang kita hadapi.
Tentunya dituntut budaya baca, diskusi, diskursif, dialog bahkan menulis yang
tinggi. Tapi jangan lupa sebelum berfilsafat, kita harus dulu memperkuat
pemahaman, keyakinan sekaligus amal kita dalam beragama, tentunya melalui
sumber al-Quran dan as-Sunnah serta berbagai pendapat para ulama baik masa lalu
dan masa sekarang. Berfilsafat akan sangat merugikan jika dasar-dasar keimanan
kita lemah bahkan semakin memperlemah keimanan kita. Kecuali berfilsafat untuk
mencari jalan lain untuk beragama dengan tanpa merendahkan dasar-dasar
keislaman yang telah kuat.
B. KESIMPULAN
Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang
mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata
lain: Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat
kebenaran segala sesuatu. Seperti
telah dikatakan, ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Yang
ditujunya ialah mencari hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam
kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat
atau keaslian (metafisika). Maka persoalannya menjadi apakah sesuatu itu hakiki
(asli) atau palsu (maya).
Berfilsafat
merupakan kegiatan berpikir yang sistematis, kritis, menyeluruh, mendasar,
koheren dan juga bisa spekulatif. Kegiatan berpikir ini memerlukan niat dan
kehendak yang kuat, karena tidak semua orang bisa berfilsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany. Filsafah Pendidikan Islam. Terj.Hasan Langgung. Jakarta: Bulan Bintang.1979
Sidi Gazalba. Sistematika Filsafat. Pengantar Kepada Dunia Filsafat. Teori Pengetahuan. Metafisika. Teori Nilai. Jakarta: Bulan Bintang. 1973
Suriasumantri,
Jujun S. (2005). Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Popular. Pustaka sinar
harapan Jakarta
Stramel, James
S. (1995). Cara Menulis Makalah Filsafat. Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Zuhairini,dkk. filsafat
pendidikan islam.Jakarta:Bumi Aksara,1995.
Kattsoff, Louis O. (2004). Pengantar Filsafat. Tiara Wacana
: Yogykarta
Dikutip Oleh Porwantana, dkk. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1991
http://www.masbied.com/2009/12/23/pengertian-filsafat-cabang-cabang-filsafat-filsafat-dan-agama/
Pengertian Filsafat, Batasan
Filsafat, Cabang-Cabang dalam
Filsafat, Tujuan Fungsi dan Manfaat Filsafat dan Aliran-Aliran dalam Filsafat
http://armayant.blogspot.com/2012/10/filsafat-ibnu-sina.html
[1]Sidi Gazalba.Sistematika Filsafat.Pengantar Kepada Omar
Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany .Filsafah Dunia Fil
[2] Nasution, harun, Prof., Dr., Islam ditinjau
dari berbagai Aspeknya, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1996
Hlm.56
[6] Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Sina (Avecenna)
sarjana dan Filosof Dunia, Jakarta, Bulan Bintang, 1949 hlm.134
[7] Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para
filosof Muslim, Yogyakarta, Al-Amin Press, 1997 hlm.21
Blogger Comment
Facebook Comment