MAKALAH
METODOLOGI STUDI ISLAM
“SISTEMATIKA
ILMU FIQIH”
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Dosen
Pengampu : Dra. Siti Nurjanah, M.Ag.
Di susun
oleh :
Eka
Nurul Hidayah
JURUSAN SYARIAH ( PBS )
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)JURAI SIWO METRO
2012
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis hantarkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Islam pada masa kini” tepat pada waktunya.
Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada
rekan-rekan, sahabat, orang tua serta dosen pengampu yakni Dra. Siti Nurjanah,
M.Ag, atas segala bantuan berupa bimbingan maupun berupa dukungan dalam
menyelesaikan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas mandiri yang diberikan
oleh dosen yang bersangkutan.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan sarannya
dalam penyempurnaan makalah mandiri ini. Semoga dengan adanya kritik dan saran
yang diberikan, makalah ini dapat lebih baik dari sebelunnya. Atas saran dan
kritiknya penulis ucapkan terima kasih.
Metro, November 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai
makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang
laindalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat
beragam, sehinggaterkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan
harus berhubungan denganorang lain. Hubungan
antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan,harus
terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan
kesepakatan.Proses untuk membuat kesepakatan
dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazimdisebut dengan proses
untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrahyang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia
merupakan kebutuhan sosial sejak manusiamulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai
agama yang komprehensif dan universalmemberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat
diimplementasikan dalam setiapmasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN
ILMU FIQH
Hukum-hukum fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama
islam,karena islam merupakan himpunana dari aqidah ,akhlak,dan hukum
amaliyyah.Hukum amaliyyah ini pada masa Rasullulah saw,terbentuk dari
hukum-hukum yang terdapat didalam al-qur’an ,dari berbagai hukum yang keluar
dari Rasulullah saw.Sebagai suatu fatwa terhadap suatu kasus atau suatu putusan
terhadap persengketaan atau merupakan suatu jawaban dari suatu pertanyaan
.Kompilasi hukum-hukum fiqh
pada periode yang pertama terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasulullah,dan
sumbernya adalah al-qur’an dan as-sunnah.
Pada masa sahabat mereka dihadapkan pada berbagai kejadian
dan munculnya berbagai hal baru yang hal itu tidak pernah dihadapi kaum muslim
sebelumnya dan tidak pernah muncul pada masa Rasulullah saw.maka berijtihadlah
orang yang ahli ijtidah diantara mereka,mereka memberikan putusan hukum,berfatwa,menetapkan
hukum syariat dan menambahkan sejumlah hukum yang mereka persembahkan melalui
ijtihad mereka kepada kompilasi hukum yang pertama itu.
Maka pada periode kedua kompilasi hukum fiqh terbentuk dari
hukum-hukum Allah dan Rasulnya ,serta fatwa sahabat dan putusan
mereka.Sedangkan sumbernya al-qur’an,as-sunnah,dan ijtihad para sahabat.
Pada
kedua periode ini hukum-hukum tersebut belum terkondifikasikan dan belum da
penetapan hukum terhadap berbagai kasus fiktif.akan tetapi penetapan hukum
islam adalah berkenaan dengan apa yang benar-benar terjadi dalam kenyataan dan
kasus-kasus yang terjadi saja.Hukum-hukum ini belum menjelma dalam bentuk
ilmiah,akan tetapi hanya sekedar suatu penyelesaian insidental terhadap
peristiwa-peristiwa faktual.Kompilasi hukum ini belum pula dinamakan sebagai
ilmu fiqh dan tokoh-tokohnya dari kalangan sahabat belum disebut sebagai
fuqaha.
Pada
masa Tabi’in dan Tabi’it serta para imam mujtahid yaitu sekitar dua abad
hijriyah yang kedua dan ketiga,negara islam meluas dan banyak dari orang
nonarab yang memeluk agama islam.Kaum muslim dihadapkan pada kejadian baru
,berbagai kesulitan,bermacam-macam kajian,aneka ragam teori dan gerakan
pembangunan fisik dan intelektualitas yang membawa para mujtahid untuk
memperluas dalam ijtihad dan pembentukan hukun islam terhadap banyak kasus dan
membuka pintu pengkajian dan analisis kepada mereka sehingga semakin luas pula
lapangan pembentukan hukum fiqh dan ditetapkan pula sejumlah hukum untuk
kasus-kasus yang fiktif.
B.Pengertian dan Gambaran Fiqh Secara Umum
Berbicara sistematika berarti kita membicarakan susunan,
Urut-urutan teratur, dan berurutan tentang sesuatu (Burhani, Hasbi
Lawrens: 2003), karena kita membahas kitab fiqh maka kita akan membahas tentang
susunan atau urutan pembahasan suatu masalah di dalam kitab fiqh.
Namun sebelum kita membahas tentang urutan atau sistematika
kitab fiqh, penulis ingin mengigatkan kembali hukum-hukum yang terkandung di
dalam fiqh secara umum.
Kita semua tahu bahwa hukum-hukum fiqh mengandung dan masuk
kedalam semua aspek kehidupan manusia, tanpa terkecuali. Maka secara garis
besar, masalah-masalah fiqh dapat dikelompokkan kedalam dua bahagian besar
(ash-shiddiqi: 2001) yaitu:
- Ibadah
Yaitu: segala persoalan yang menyangkut dengan urusan
akhirat seperti: shalat, puasa dan zakat. Atau dengan kata lain para fuqaha
menyebutkan dengan ibadah mahzhah, yaitu ibadah yang berhubungan dengan ALLAH
secara lansung.
- Mu’amalat
Adalah segala persoalan atau permasalahan yanag berpautan
atau berhubungan dengan urusan-urusan dunia atau undang-undang. Atau lebih
dikenal dengan ibadah ghairu mahzhah yaitu ibadah yang berhubungan dengan
manusia dengan manusia yang perlu adanya campur tangan pemerintah dalam
pelaksanaannya.
Pada bagian ini dapat dibagi lagi menjadi 3 (tiga) bagian,
yaitu:
- Bagian ‘ukubat
Yaitu: pembahasan yang meliputi tentang perbuatan-perbuaran
pidana seperti membunuh, mencuri dan minum minuman yang memabukkan atau khamr.
2. Bagian munakahat (ahwal syakhshiah)
Yaitu: bagian yang membahas antara lain masalah perkawinan
dan perceraian.
3. Bagian mu’amalat
Yaitu: pada bagian ini membahas tentang harta seperti sewa
menyewa, jual beli dan pinjam meminjam.
Demikian juga dengan wahbah al-zuhaili yang membagi
pembahasan fiqh kedalam 2 bidang secara umum. (wahbah zuhaili: 1984)
Namun demikian ada juga ulama al Allamah Ibnu Abidin dalam
kitabnya Raddl Muhtar yang membagi pembagian dalam fiqh itu kedalam 3
(tiga) pembahagian besar, yaitu:
- Ibadah
Meliput: shalat, zakat, shiyam, haji dan jihad.
2. Uqubat
Meliputi: qishas, had pencurian, had zina dan di hubungkan
dengan ta’zir.
3. Mu’amalat
Meliputi: munakahat dan amanat
Perlu kita ingat kembali yang menyusun kitab fiqh adalah:
ahli ijtihad seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Imam Syafi’i, Ahmad Bin Hambal
dan lain-lain. Orang yang mula-mula mengatur dan menyusun kitabnya menurut
sebagian ahli riwayat adalah Abu Hanifah An Nu’man Ibn Tsabit.
(ash-shiddiqi: 2001) dan ini terjadi pada masa-masa awal dari Dinasti Abbasiyah
(133-766 H atau 750-1258), setelah kaum Muslimin dapat menciptakan stabilitas
keamanan di seluruh wilayah Islam.
Pada waktu itu kaum Muslimin, berada pada tingkat
kehidupannya yang semakin baik, tidak lagi berkonsentrasi untuk
memperluas wilayahnya, melainkan berupaya untuk membangun suatu peradaban
melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Maka muncullah berbagai kegiatan dalam
kaitan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan ini, yang terdiri dari tiga bentuk,
yakni (1) penyusunan buku-buku, (2) perumusan ilmu-ilmu Islam, dan (3)
penerjemahan manuskrip dan buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Ilmu
pengetahuan yang berkembang tidak hanya ilmu-ilmu agama Islam saja, tetapi juga
ilmu-ilmu keduniaan yang memang tak dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu agama,
sehingga pada masa ini muncul ahli-ahli ilmu agama Islam, ahli-ahli ilmu bahasa
Arab, ahli-ahli ilmu alam, para filosuf dan sebagainya.
Pada periode inilah ilmu fiqih berkembang. Ilmu fiqih secara
konvensional terdiri dari: fiqih ‘ibâdât (fiqih tentang
persoalan-persoalan ibadah, seperti shalat, zakat, puasa dan haji), fiqih munâkahât
(fiqih tentang perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti
waris dan hibah), fiqih mu’âmalât (fiqih tentang hubungan perdata) dan
fiqih jinâyât (fiqih tentang tindak pidana dan hukumannya). Pembahasan
jenis-jenis fiqih terintegrasi menjadi satu kesatuan.
Berkembangnya ilmu-ilmu fiqh, maka secara tidak lansung
berkembang pula sistematika punyusunan suatu pembahasan didalam kitab-kitab
fiqh. Ini yang menyebabkan berbedanya susunan atau sistematika fiqh setiap
ulama yaitu karena perbedaan waktu dan tempat.
C.Pengertian
Ushl Fiqh
Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua sudut
pandang. Pertama, dari pengertian kata ushul dan fiqh secara
terpisah, kedua dari sudut pandang ushul fiqh sebagai disiplin ilmu
tersendiri. Dari sisi tarkib idhafi dan dari sisi laqab. Ushul fiqh sebagai
tarkib idhafi, terdiri dari kata ushul dan fiqh yang secara terpisah
antara kedua kata ini mempunyai makna sendiri. kata ushul merupakan jamak dari
ashl yang berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain. atas dasar ini
ushul fiqh di pandang sebagai sandaran bagi fiqh dan sebagai alat utuk
melahirkan fiqh.[1]
Kata al aslu menurut bahasa memiliki arti : asal, pangkal, dasar, pokok
atau asas. Dapat juga di artikan sebagai fondasi sesuatu, baik bersifat materi
maupun non materi[2]
Adapun menurut istilah ashl memiliki beberapa adalah arti berikut ini:
- Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama Ushul Fiqih bahwa ashl dari wajibanya shalat lima waktu firman allah dan sunnah rasul.
- Qa’idah, yaitu suatu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda nabi Muhammad saw:”Buniyal islam ’ala khamsi ushulin” artinya:”Islam itu didirikan atas lima ushul (fondasi atau dasar)”
- Rajih, yaitu yang terkuat seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih:”Al-Ashlu fil kalaam al-haqiqah”. Artinya:”Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”. Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
- Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya.misalnya seseoarang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinan? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapat waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
- Far’u, seperti perkataan ulama ushul:”Al-waladu far’un lilabi” artinya:”Anak adalah cabang dari ayah” Al-Ghazali,1:5
Dari yang kelima pengertian ashl diatas, yang biasa dipakai digunakan
adalah makna yang pertama ”Dalil”, yakni dalil-dalil fiqh.
Kata fiqh menurut bahasa pemahaman atau pengetahuan
tentang sesuatu, dalam pengertian ini kata fiqh dan fahm adalah sinonim.
kata fiqh pada mulanya di gunakan orang-orang arab bagi seseorang yang ahli
dalam mengawinkan unta. dimasa Rasulullah pengertian fiqh menckup semua aspek
dalam islam, baik teologis, politis, ekonomis maupun hukum.[3]
Pengertian fiqh secara bertahap berubah dari masa ke masa , dan akhirnya
terbatas pada masalah hukum .
Menurut istilah fiqh adalah:
“الفقه: العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan
pekerjaan para mukallaf, yang di instinbathkan dari dalil-dalil yang jelas (
tafsili ). Gabungan dari kata ushul dan fiqh tersebut. oleh
para pakar dijadikan nama bagi suatu disiplin ilmu, yang dikenal dengan sebutan
ilmu ushul fiqh.[4]
Secara definitif, yang disebut ilmu ushul fiqh dalam istilah syara
ialah: ilmu pengetahuan dari hal qaidah
–qaidah dan pembahasan –pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum
– hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang
terperinci.5
Imam al-ghazali, seorang ulama syafiiyah, mendefinisikan ushul fiqh
adalah penjelasan tentang dalil-dalil fiqh dan pengetahuan tentang tata cara
penunjukannya kepada hukum secara global dan bukan secara terperinci.6 Imam baidhawi juga ahli
ushul kalangan syafiiyah, mendenisikannya sebagai pengetahuan tentang dalil
fiqh secara umum dan menyeluruh, cara mengistinbathkan atau menarik hukum dari
dalil itu,dan tentang hal ikhwal pelaku istinbath.7 Definisi ini sedikit lebih luas
dari rumusan alghazali.
Menurut Dr, Wahbah Zuhaili, ulama hanafiah, malikiah,dan hanabilah
mendefinisikan ushul fiqh sebagai kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengambil
hukum dari dalil-dalil yang terperinci atau ilmu tentang kaidah-kaidah itu
sendiri. Baqir Sadr dari kalangan syiah, mendefinisikan ushul fiqh sebagai ilmu
yang membahas unsur-unsur umum dalam prosedur mendeduksikan hukum-hukum islam.
8 Sedangkan menurut ushul
fiqh ialah pengetahuan tentang kaidah dan penjabarannya yang dijadikan pedoman
dalam menetapkan hukum syariat islam mengenai perbuatan manusia, dimana kaidah
itu bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas.9 Dengan kata lain, ushul fiqh
merupakan himpunan berbagai kaidah dan penjaabrannya yang menjadi pedoman dalam
rangka penetapan hukum mengenai perbuatan mukallaf dimana keseluruhan kaidah
tersebut bersumber dari nash. Keragaman definisi yang dirumuskan oleh para ahli
seperti tesebut di atas,pada akhirnya bertemu pada satu inti ushul fiqh. Yaitu
metode atau kaidah yang dipakai oleh para mujtahid untuk mengistinbathkan
hukum dari nash Al-Qur’an dan sunnah.10
Dengan membandingkan uraian di atas dan uraian sebelumnya tentang fiqh terlihat
bahwa antara fiqh dan ushul fiqh mempunyai hubungan yang erat. ushul fiqh
membicarakan tentang kaidah-kaidah umum, sedangkan penerapan kaidah-kaidah [5]tersebut
kepada ayat-ayat alquran dan hadis-hadis nabi merupakan obyek kajian fiqh
sehingga melahirkan fiqh itu sendiri.11
Kata fiqh secara bahasa adalah faham. Ini seperti yang diambil
dari ayat Alquran {قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول}, yang artinya “kaum berkata: Wahai
Syu’aib, kami tidak memahami banyak dari apa yang kamu bicarakan”.
D.Obyek Kajian Ushul Fiqh
Setiap cabang pengetahuan biasanya mempunyai pokok bahasan
dasar yang menjadi pusat seluruh kajiannya. Pembahasannya pun berkisar
disekitar itu pula, dengan tujuan menemukan karakteristik-karakteristik,
kondisI-kondisi serta hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan tersebut,
contohnya. Pokok bahasan ilmu fisika adalah alam maka seluruh diskusi dan
riset dalam ilmu fisika senantiasa berkaitan dengan alam sehingga kita berusaha
menemukan kondisi-kondisi dan hukum-hukum alam.12 Begitu juga dengan ilmu
pengetahuan yang lain seperti fiqh. Obyek pembahasan fiq[6]h adalah perbuatan
orang mukallaf dari segi penetapan hukum syariat padanya. Dari sana kita
mengetahui mana
dalam pandangan hukum islam erbuatan yang diwajibkan,disunnahkan,diharamkan dan
sebagainya. Jadi dalam ilmu fiqh dibahas tentang thaharah, shalat, zakat,
puasa, jual beli, wakaf, pembunuhan dan lain sebagainya. Demikian juga halnya
dengan ilmu ushul fiqh ia memliki obyek bahasan tersendiri.13
Menurut Imam Alghazali ,Obyek kajian ilmu
ushul fiqh berkisar pada 4 hal :
1.
Tsamarah, yaitu hukum-hukum syar’i seperti wudhuk, nadab, karhah
dan lain sebagainya
2.
Musmar, yaitu dalil-dalil (adillah) meliputi kitab,sunnah,dan ijma’
3.
Thuruq al istimar (metode istinbath)
4.
Mustasmir yaitu mujtahid14
Adapun yang menjadi ruang lingkup pembahasan ilmu ushul fiqh ialah
dalil-dalil syara’ itu sendiri dari segi bagaimana penunjukannya kepada suatu
hukum secara ijmali ( menurut garis besarnya). Ushul fiqh mengkaji
hukum-hukum syara’ yang meliputi tuntutan berbuat meninggalkan dan pilihan
berbuat atau meninggalkanseta hal-hal yang berkaitan dengan syarat, sebab,
mani’, ru’sah, dan lain sebagainya.
Adakalnya dengan
bentuk kalimat perintah (tsighat amar),terkadang penunjukannya Sberbentk kalimat larangan (tsigat
nahi),dan adakalanya melakukan kalimat yang bersifat am, khash, mutlak,
muqayyad, hakiki, majazi dan lain sebagainya.15
adalah dalil syara’pertama yang penunjukannya kepada hukum tidak hanya
menurut satu bentuk saja.
Bahkan secara khusus persoalan ijtihad, syarat dan kriteria orang yang
dapat melakukan ijtihadpun menjadi lapangan kajian ushul fiqh. Harus diingat
bahwa alquran
Terhadap segala bentuk kalimat yang terdapat di dalam alquran
tersebut,para ahli ushul,dengan bantuan penelitian terhadap gaya dan tata
bahasa arab dan pemakaiannya dalam syariat melakukan kajian dan pembahasan yang
komprehensif agar memperoleh
ketentuan hukum yang ditunjuknya.hasil
penelitian para ahl ushul misalnya ditemukan bahwa tsighat(bentuk) amr itu
mengandung perintah,tsighat nahyi itu mengandung petunjuk haram dikerjakan dan
kalimat yang bersifat umum itu harus mencakup pengertian keseluruhan.
Berdasarkan penelitian tersebut merka lalu menyusun kaidah-kaidah seperti
berikut :al amru lil ijab (perintah itu untuk mewajibkan), an nahyu
lit tahrim (larangan itu untuk mengahramkan). Kaidah-kaidah di atas
pada giliranya menjadi acuan dalam menkonfirmasikan penunjukan hukum terhadap
suatu masalah yang terdapat di dalam alquran.16[7]
Ilmu ushul fiqh tentu saja berbeda dengan ilmu fiqh karena fiqh
membicaraan tentang dalil dan hukum yang bersifat rinci atau juz’i sedangkan
ushul fiqh memfokuskan pembicaraanya tentang dalil atau ketentuan yang bersifat
garis besar atau kulli yang berfugsi sebagai metodelogi dalam memahami
dalil-dli yang terperinci tersebut,seperi telah dijelaskan sebelumnya.demikian
pula,kalau tujuan mempelajiri fiqh adalah mempraktekkan hukum-hukum syriat pada
segala amal perbuatan manusia,maka tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh adalah
mempraktekkan kaidha-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil rinci guna
mendapatkan hkm-hukum syariat yang terkandung dalam dalil-dalil itu. Jadi
dengan kaidah dan pembahasan ilmu ushul fiqh dapat dipahami nash-nash syariyyah
dan hukum-hukum yang dikandungnya.17
Namun demikian, ushul fiqh tidak hanya diperlukan dalam memahami
teks-teks yang terdapat dalam alqur an maupun hadits semata, tetapi ia juga di
butuhkan untuk menetapkan hukum terhadap hal-hal atau peristiwa – peristiwa
yang tidak terdapat ketentuan hukumnya didalam kedua nash tersebut. Apalagi
dizaman sekarang banyak sekali tejadi peristiwa-peristiwa hukum baru yang
tidak disebut oleh nash baik secara eksplisit maupun implisit.18
E.Perbedaan Ushul Fiqh
Dengan Fiqh Dan Qawa id Kulliah
Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung
berkaitan dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya, apakah
hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil
yang rinci.
Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid
dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global,
apa karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan
kuat dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa
syarat-syaratnya.
Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu
terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah
kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa,
sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam
menyimpulkan sebuah hukum fiqh.
a.
Pengertian kaidah fiqhiyyah
Materi fiqh banyak sekali, dan materi-materi yang banyak itu ada hal-hal
yang serupa, kemudian diikat dalam satu ikatan. Ikatan inilah yang menjadi
kaidah fiqh. Oleh [8]karena
itu Abu Zahrah menta’rif kan kaedan fiqh dengan,“kumpulan hukum-hukum yang
serupa yang kembali kepada satu qiyas yang mengumpulkannya, atau kembali kepada
prinsip fiqh yang mengikatnya”19
b.
Perbedaan Kaidah Ushul
dan Kaidah Fiqh
a.
Kaidah ushul adalah cara
menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan
hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama.
b.
Kaidah-kaidah ushul muncul
sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.
c.
Kaidah-kaidah ushul
menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil yang
rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan
kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
F.Isi Dan Sistematika Ushul
Fiqh
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang membedakannya
dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul fiqh, ia memiliki bahasan
tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:
- Kajian tentang adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi (Al-Qur’an dan Sunnah) maupun turunan (Ijma’, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-lain).
- Hukum-hukum syar’i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban kewajiban beribadah kepada Allah dan apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan keadilan dan rahmat Allah.
- Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami lafaz kata, teks, makna tersurat, atau makna tersirat dari ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami maksudnya dengan benar jika kita memahami hubungannya dengan ayat atau hadits lain. ( kaidah –kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syarai dari dalil atau sumber yang mengandungnya).
- Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling bertentangan, dan bagaimana solusinya.
- Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.
G.Sejarah
Dan Perkembangan Ushul Fiqh
Dalam sejarah penulisan buku-buku ushul dikenal ada tiga buah metode dan
gaya penulisan para ulama, yaitu:
Metode ahli ilmu kalam (Syafi’iyyah), Metode ahli fiqh (Hanafiyyah),
Metode gabungan.
a.Metode Syafi’iyyah
Kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i adalah kitab pertama yang menggunakan
metode ini dalam penulisannya. Di antara ciri-ciri metode ini adalah:
Pertama: Metode ini memusatkan diri pada kajian teoritis murni
untuk menghasilkan kaidah-kaidah ushul yang kuat, walaupun kaidah itu mungkin
tidak mendukung mazhab fiqh penulisnya.
Kedua: Dalam mengkaji dan menelurkan kaidah ushul, metode ini
sangat mengandalkan kajian bahasa Arab yang mendalam, menggunakan dalalah
(indikator) yang ditunjukkan oleh lafazh kata atau kalimat, logika akal, dan
pembuktian dalil-dalilnya.
Ketiga: Metode ini benar-benar terlepas dari pembahasan
cabang-cabang fiqh dan fanatisme mazhab, jika masalah fiqh disebutkan ia hanya
sebagai contoh penerapan saja. Metode ini juga menggunakan gaya perdebatan
ilmiah dengan ungkapan:
فإن قلتم… قلنا
“Jika Anda
mengatakan…, maka jawaban kami adalah…”
Oleh karena itu para penulis Ushul Fiqh yang menggunakan metode ini
adalah mereka yang berasal dari mazhab yang berbeda: Syafi’iyyah, Malikiyyah,
Hanabilah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan lain-lain.
a)
Kitab-kitab yang menggunakan Metode Syafi’iyyah
1.
Ar-Risalah karya Imam Syafi’i (150-204 H).
2.
At-Taqhrib karya Al-Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani Al-Maliki (wafat th 403
H).
3.
Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy
Asy-syafi’i (wafat th 436 H).
4.
Al-Burhan karya Abul-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini
Asy-Syafi’i/Imamul-haramain (410-478 H).
5.
Al-Mustashfa karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali
Asy-Syafi’i (wafat 505 H).
b.Metode Hanafiyah
Metode ini memiliki karakter sebagai berikut:
Pertama: Keterkaitan erat antara Ushul Fiqh dengan masalah
cabang-cabang Fiqh dimana ia dijadikan dalil dan sumber utama kaidah-kaidah
ushul yang mereka buat. Apabila ada kaidah ushul yang bertentangan dengan
ijtihad fiqh para imam dan ulama mazhab Hanafi, mereka menggantinya dengan
kaidah yang sesuai.
Kedua: Tujuan utama dari metode ini adalah mengumpulkan
hukum-hukum Fiqh hasil ijtihad para ulama mazhab Hanafi dalam kaidah-kaidah
ushul.
Ketiga: Metode ini terlepas dari kajian teoritis dan lebih
bersifat praktis. Metode ini muncul karena para imam mazhab Hanafi tidak
meninggalkan kaidah ushul yang terkumpul dan tertulis bagi murid-murid mereka
seperti yang ditinggalkan Imam Syafi’i untuk murid-muridnya. Dalam buku para
imam mazhab Hanafi, mereka hanya menemukan masalah-masalah Fiqh dan beberapa
kaidah yang tersebar di sela-sela pembahasan Fiqh tersebut. Akhirnya mereka mengumpulkan
masalah-masalah Fiqh yang sejenis dan mengkajinya untuk ditelurkan darinya
kaidah-kaidah ushul.
b)
Kitab yang ditulis dengan metode Hanafiyah
- Al-Ushul karya Ubaidullah bin Al-Husain bin Dallal Al-Karkhi Al-Hanafi (260-340 H).
- Al-Ushul karya Ahmad bin Ali Al-Jash-shash Al-Hanafi (wafat th 370 H).
- Al-Ushul karya Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl Abu Bakr As-Sarakhsi Al-Hanafi (wafat th 490 H).
- Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad bin Al-Husain Al-Bazdawi Al-Hanafi (wafat th. 482 H).
- Ta’sis An-Nazhar karya Ubaidullah bin Umar bin Isa Abu Zaid Ad-Dabbusi Al-Hanafi (wafat th 430 H).
c.Metode Gabungan
Metode ini muncul pertama kali pada permulaan abad ke-7 Hijriyah melalui
seorang alim Irak bernama Ahmad bin Ali bin Taghlib yang dikenal dengan
Muzhaffaruddin Ibnus Sa’ati (wafat th 694 H) dengan bukunya Badi’un-Nizham
Al-Jami’ baina Ushul Al-Bazdawi Wal-Ihkam.
Di antara keistimewaan terpenting dari metode ini adalah penggabungan
antara kekuatan teori dan praktek yaitu dengan mengokohkan kaidah-kaidah ushul
dengan argumentasi ilmiah disertai aplikasi kaidah ushul tersebut dalam
kasus-kasus fiqh.
Fiqh Siyâsah
Kata “fiqh siyâsah” yang tulisan bahasa Arabnya adalah “الفقه السياسي”
berasal dari dua kata yaitu kata fiqh (الفقه) dan yang kedua adalah al-siyâsî (السياسي).
Secara istilah,
menurut ulama usul, kata fiqh berarti: {العلم
بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية} yaitu “mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang
digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”.
Sedangkan al-siyâsî pula, secara bahasa berasal dari “ساس – يسوس – سياسة”
yang memiliki arti mengatur (أمر/دبّر), seperti di dalam hadis: “كان بنو
إسرائيل يسوسهم أنبياؤهم أي تتولى أمورهم كما يفعل الأمراء والولاة بالرعية”, yang berarti: “Adanya Bani Israil itu
diatur oleh nabi-nabi mereka, yaitu nabi mereka memimpin permasalahan mereka
seperti apa yang dilakukan pemimpin pada rakyatnya”. Bisa juga seperti
kata-kata “ساس زيد الأمر أي يسوسه سياسة أي دبره وقام بأمره” yang artinya: “Zaid mengatur sebuah
perkara yaitu Zaid mengatur dan mengurusi perkara tersebut”. Sedangkan kata mashdar-nya
yaitu siyâsah itu secara bahasa bermakna: “القيام على
الشيء بما يصلحه” yang artinya
“bertindak pada sesuatu dengan apa yang patut untuknya”.
Apabila digabungkan kedua kata fiqh dan al-siyâsî maka fiqh
siyâsah yang juga dikenal dengan nama siyâsah syar’iyyah secara
istilah memiliki berbagai arti:
1.
Menurut Imam al-Bujairimî: “Memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur
mereka dengan cara memerintah mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka
terhadap pemerintahan”.
2.
Menurut Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah
bi al-Kuwait: “Memperbagus kehidupan manusia dengan menunjukkan pada
mereka pada jalan yang dapat menyelamatkan mereka pada waktu sekarang dan akan
datang, serta mengatur permsalahan mereka”.
3.
Menurut Imam Ibn ‘Âbidîn: “Kemaslahatan untuk manusia dengan
menunjukkannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di
akhirat. Siyâsah berasal dari Nabi, baik secara khusus maupun secara
umum, baik secara lahir, maupun batin. Segi lahir, siyâsah berasal dari
para sultan (pemerintah), bukan lainnya. Sedangkan secara batin, siyâsah
berasal dari ulama sebagai pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan”.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua unsur penting di
dalam Fiqh Siyâsah yang saling berhubungan secara timbal balik,
yaitu: 1. Pihak yang mengatur; 2. Pihak yang diatur. Melihat kedua unsur
tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah itu mirip
dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono Prodjodikoro bahwa:
Dua unsur
penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat eksklusif
dan unsur masyarakat.
Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsinya, fiqh siyâsah
berbeda dengan politik. Menurut Ali Syariati seperti yang dinukil Prof. H. A.
Djazuli, bahwa fiqh siyâsah (siyâsah syar’iyyah) tidak
hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang
sama menjalankan fungsi pengarahan (`ishlâh). Sebaliknya, politik dalam
arti yang murni hanya menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan. Ini juga
dibuktikan dengan definisi politik di dalam Penguin Encyclopedia:
“Political
Science: The academic discipline which describes and analyses the operations of
government, the state, and other political organizations, and any other factors
which influence their behaviour, such as economics. A major concern is to
establish how power is exercised, and by whom, in resolving conflict within
society.”
Ternyata, memang
di dalam definisi ilmu politik di sini, tidak disinggung sama sekali tentang
kemaslahatan untuk rakyat atau masyarakat secara umum.
Perbedaan tersebut tampak apabila disadari bahwa dalam menjalani politik
di dalam hukum Islam haruslah terkait oleh kemestian untuk senantiasa sesuai
dengan syariat Islam, atau sekurang-kurangnya sesuai dengan pokok-pokok syariah
yang kullî. Dengan demikian, rambu-rambu fiqh siyâsah
adalah: 1. Dalil-dalil kullî, baik yang tertuang di dalam Alquran maupun
hadis Nabi Muhammad SAW; 2. Maqâshid al-syarî’ah; 3. Kaidah-kaidah usul fiqh
serta cabang-cabangnya.
Oleh karena itu, politik yang didasari adat istiadat atau doktrin selain
Islam, yang dikenal dengan siyâsah wadl’iyyah itu bukanlah fiqh siyâsah,
hanya saja selagi siyâsah wadl’iyyah itu tidak bertentangan dengan
prinsip Islam, maka ia tetap dapat diterima.
H. Ruang
Lingkup Fiqh Siyâsah
Terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh
siyâsah. Ada yang membagi menjadi lima
bidang. Ada yang membagi menjadi empat bidang, dan lain-lain. Namun, perbedaan
ini tidaklah terlalu prinsipil.
Menurut Imam al-Mâwardî, seperti yang dituangkan di dalam karangan fiqh
siyâsah-nya yaitu al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, maka dapat diambil
kesimpulan ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:
1.
Siyâsah
Dustûriyyah;
2.
Siyâsah Mâliyyah;
3.
Siyâsah
Qadlâ`iyyah;
4.
Siyâsah
Harbiyyah;
5.
Siyâsah
`Idâriyyah.
Sedangakan menurut Imam Ibn Taimiyyah, di dalam kitabnya yang berjudul al-Siyâsah
al-Syar’iyyah, ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:
1.
Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2.
Siyâsah `Idâriyyah;
3.
Siyâsah Mâliyyah;
4.
Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah.
Sementara Abd al-Wahhâb Khalâf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang
kajian saja, yaitu:
1.
Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2.
Siyâsah Dauliyyah;
3.
Siyâsah Mâliyyah;
Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah
membagi ruang lingkup fiqh siyâsah menjadi delapan bidang berserta
penerangannya, yaitu:
1.
Siyâsah Dustûriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan
perundang-undangan);
2.
Siyâsah Tasyrî’iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tetang penetapan
hukum);
3.
Siyâsah Qadlâ`iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan);
4.
Siyâsah Mâliyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter);
5.
Siyâsah `Idâriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi
negara);
6.
Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan
hubungan luar negeri atau internasional);
7.
Siyâsah Tanfîdziyyah Syar’iyyah (politik pelaksanaan
undang-undang);
8.
Siyâsah Harbiyyah Syar’iyyah (politik peperangan).
Dari sekian uraian tentang, ruang lingkup fiqh siyâsah dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian pokok. Pertama (1): politik
perundang-undangan (Siyâsah Dustûriyyah). Bagian ini meliputi pengkajian
tentang penetapan hukum (Tasyrî’iyyah) oleh lembaga legislatif,
peradilan (Qadlâ`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi
pemerintahan (`Idâriyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.
Kedua (2): politik luar negeri (Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah
Khârijiyyah). Bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara warganegara
yang muslim dengan yang bukan muslim yang bukan warga negara. Di bagian ini
juga ada politik masalah peperangan (Siyâsah Harbiyyah), yang mengatur
etika berperang, dasar-dasar diizinkan berperang, pengumuman perang, tawanan
perang, dan genjatan senjata.
Ketiga (3): politik keuangan dan moneter (Siyâsah Mâliyyah),
yang antara lain membahas sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran
dan belanja negara, perdagangan internasional, kepentingan/hak-hak publik,
pajak dan perbankan.
I. Kedudukan Fiqh Siyâsah di dalam
Sistematika Hukum Islam
Pra pembahasan kedudukan fiqh siyâsah di dalam hukum Islam,
perlulah untuk diketahui dulu sistematika hukum Islam secara umum. Dengan
diketahui sistematika hukum Islam, maka dapatlah difahami kedudukan fiqh
siyâsah di dalam sistematika hukum Islam.
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaylî, salah satu dari keistimewaan hukum Islam
dibandingkan dengan hukum-hukum lainnya, adalah bahwa hukum Islam ini selalu
diperkaitkan/dihubungkan dengan tiga perkara penting bagi manusia. 1. Hubungan
manusia dengan Tuhannya; 2. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri; 3.
Hubungan manusia dengan masyarakat sosialnya.20
Ini dikarenakan hukum Islam diperuntukkan untuk dunia dan akhirat, agama
dan negara. Ia juga berkaitan kepada seluruh manusia secara keseluruhan, dan
tidak ada kadarluarsa sampai hari kiamat. Maka dari itu, hukum-hukum produk
Islam, semuanya berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, agar dapat
melaksanakan sesuatu yang wajib/harus dilakukan, serta tidak melupakan
kewajiban mendekatkan diri kepada Allah; juga untuk menghormati hak-hak insani
untuk memiliki, merasa aman, bahagia, hidup berkelanjutan bagi seluruh jagat
alam raya.21
Agar dapat memenuhi peruntukan tersebut, maka hukum Islam atau yang juga
disebut fiqh yang mana dalam hal ini berhubungan dengan apa yang keluar
dari seorang mukalaf, dari segi ucapan, pekerjaan, itu meliputi dua perkara
pokok:22
1.
Fiqh ‘Ibâdah (Hukum Ibadat): hukum-hukum yang mengatur segala
persoalan yang berpautan dengan urusan akhirat.23 Bagian dari Fiqh ‘Ibâdah
adalah bersuci, solat, puasa, haji, zakat, nazar, sumpah, dan sebagainya dari
perkara-perkara yang bertujuan mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhannya. Malah Alquran membicarakan masalah ini melebihi 140 ayat.
2.
Fiqh Mu’âmalât (Hukum Muamalah): hukum-hukum yang mengatur
hubungan antara sesama manusia dalam masalah-masalah keduniaan secara umum.24 Bagian dari ini adalah
segala jenis akad, akibat, jinayah, ganti-rugi, dan lain-lain yang berhubungan
antara manusia dengan manusia yang lain, sama ada secara privat maupun publik.
a. Hukum
yang berhubungan dengan keadaan manusia: seperti pernikahan, nafkah, warisan,
dan lain-lain yang berhubungan antara manusia dan keluarganya secara privat.
Dari pembagian ini, maka Dr. Wahbah al-Zuhaylî pula membagi hukum
muamalah kepada beberapa hukum yang sifatnya berbeda. Ini dikarenakan fiqh
mu’âmalât ini sangat luas. Pembagian tersebut adalah:25
b. Hukum
kebendaan: seperti segala jenis akad jual-beli, persewaan, perikatan, dan lain-lain yang berhubungan dengan
kepentingan hak kebendaan seseorang.
c. Hukum
jinayah (pidana): seperti kriminal serta akibat darinya, dan lain-lain yang
bertujuan menjaga kedamaian manusia serta harta mereka.
d. Hukum
acara perdata atau pidana: hukum yang bertujuan mengatur proses peradilan dalam
meletakkan sabit kesalahan yang sifatnya pidana maupun perdata dengan tujuan
menegakkan keadilan di kalangan manusia.
e. Hukum
dustûriyyah: segala hukum yang mengatur konsep penetapan hukum dan
dasar-dasarnya. Dalam hukum ini, fiqh membahas bagaimana membatasi
sebuah hukum dengan subyek hukum.
f. Hukum
pemerintahan (dauliyyah): hukum yang mengatur hubungan antara
pemerintahan Islam dengan lainnya di dalam kebijakan perdamaian, peperangan, international
affairs, dan lain-lain yang mengatur kebijakan pemerintah Islam dalam
pemerintahannya.
g. Hukum
perekonomian dan keungan: hukum yang mengatur hak-hak warganegara dan
pemerintah dalam hal kebendaan, seperti pengaturan pajak negara, harta rampasan
perang, mata uang, pengaturan dana sosial perzakatan, sedekah, dan lain-lain
yang berkaitan dengan kebendaan antara warganegara dan pemerintah.
h. Akhlak
dan adab: sebuah konsep dalam fiqh yang mengajarkan konsep tata
pergaulan yang baik. Ini dikarenakan fiqh adalah produk wahyu Tuhan,
sehingga nilai-nilai moral sangat diutamakan.
Secara kedudukan, fiqh siyâsah berada di dalam fiqh mu’âmalât.
Ini apabila fiqh mu’âmalât diartikan dengan arti luas.
Akan tetapi,
apabila fiqh mu’âmalât diartikan secara sempit; maka fiqh siyâsah
bukanlah fiqh mu’âmalât. Ini dikarenakan fiqh mu’âmalât adalah fiqh
yang mengatur hubungan manusia dengan kebendaan yang sifatnya privat, bukan
publik, walaupun kemungkinan ada campur tangan pemerintah. Hanya saja
pencampuran tersebut bukanlah secara esensial. Ini seperti apa yang diartikan
secara sempit, menurut Khudlarî Beik:[10]
“Muamalah
adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.”24
Maka dari itu, kalau dibandingkan antara definisi yang dimiliki fiqh
siyâsah seperti yang dijelaskan di bab sebelum ini, maka dapatlah
dimasukkan fiqh siyâsah di dalam Sfiqh mu’âmalât secara arti luas, bukan sempit.
Dari sistematika hukum Islam seluruhnya, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa fiqh siyâsah memainkan peranan penting di dalam hukum Islam. Ini
dikarenakan, fiqh siyâsah-lah sebuah disiplin ilmu yang akan mengatur
pemerintah dalam menjalankan hukum Islam itu sendiri bagi masyarakatnya. Tanpa
keberadaan pemerintah yang Islami (dalam hal ini pemerintah yang menjalankan
konsep fiqh siyâsah), maka sangat sulit terjamin keberlakuan hukum Islam
itu sendiri bagi masyarakat muslimnya.Imam al-Ghazâlî juga secara tegas
menjelaskan ini di dalam kitabnya yang berjudul al-`Iqtishâd fî al-`I’tiqâd.[11]25
Buktinya, tanpa pemerintah yang minimal peduli dengan fiqh siyâsah,
tidak mungkin akan mengeluarkan salah satu produk hukum Islam sebagai hukum
positif untuk rakyatnya yang muslim. Indonesia misalnya, pada tahun 1974 telah
berhasil melahirkan undang-undang No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan
yang mengatur bahwa semua penduduk asli Indonesia yang beragama Islam untuk
mematuhi peraturan pernikahan tersebut yang terbentuk dari dasar-dasar Islami.
Tanpa ini, tentu konsep fiqh munâkahah tidak dapat diaplikasikan secara
positif di Indonesia.26
Contoh lain sebagai bukti pentingnya fiqh siyâsah di dalam
pemerintahan, adalah adanya fiqh siyâsah itu lebih mementingkan
kemaslahatan untuk rakyat umum, serta berusaha menolak segala jenis kerusakan.27 Ini juga didasari oleh
salah satu akar fiqh siyâsah, yaitu kaidah fiqhiyyah. Kaidah yang
terkenal adalah “دفع المفاسد وجلب المصالح”. Selanjutnya, batasan kemaslahatan tentunya dibatasi dengan
kaidah “المصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة”, yang dapat membatasi pemerintah daripada
hanya mementingkan kursi kekuasaan. Walau bagaimanapun, kebijakan pemerintah
yang jelas-jelas untuk kemaslahatan rakyat, harus ditaati. Maka dari itu
terdapat kaedah “تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة”. Secara aplikasinya, kalau pengadilan
tidak dapat menemukan wali bagi orang yang dibunuh (والي القاتل), maka pemerintah (jaksa) dapat menjadi
wakil bagi mangsa sebagai penuntut. Malah bagi jaksa boleh menuntut untuk diqishâsh
kalau perlu, atau mengambil diyyat kalau dianggap lebih maslahat. Akan
tetapi, jaksa tidak boleh memberi ampunan dari pemberlakuan qishâsh
seperti yang dimiliki wali yang asli.28
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa fiqh siyâsah mempunyai
kedudukan penting dan posisi yang strategis dalam masyarakat Islam. Dalam
memikirkan, merumuskan, dan menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis yang
berguna bagi kemaslahatan masyarakat muslim khususnya, dan warga lain umumnya,
pemerintah jelas memerlukan fiqh siyâsah. Tanpa kebijakan politik
pemerintah, sangat boleh jadi umat Islam akan sulit mengembangkan potensi yang
mereka miliki. Fiqh siyâsah juga dapat menjamin umat Islam dari hal-hal
yang bisa merugikan dirinya. Fiqh siyâsah dapat diibaratkan sebagai akar
sebuah pohon yang menopang batang, ranting, dahan, dan daun, sehingga
menghasilkan buah yang dapat dinikmati umat Islam
BAB III
PENUTUP
A.
MENURUT PEMIKIRAN PENULIS
Setelah kita melihat
bagaimana seharusnya memandang
fiqh,sekarang kita lihat
bagaimana dalam kenyataan, masyarakat memandang fiqh. Gambaran ini
diperlukan, sebelum kita mencoba memberi
analisa lebih jauh tentang
mekanisme kerja fiqh, danmsaran-saran pemecahan masalahnya, dalam rangka
reaktualisasi ajaran Islam.
Pada umumnya
masyarakat Islam, khususnya
masyarakat Islam Indonesia, memandang fiqh
identik dengan hukum
Islam, dan hukum
Islam dipandang identik
dengan aturan Tuhan. Sebagai akibatnya, fiqh cenderung dianggap sebagai aturan
Tuhan itu sendiri. Dengan
cara pandang itu,
maka kitab-kitab fiqh dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan, dan karena hukum
Tuhan adalah hukum
yang paling benar dan tidak bisa dirubah maka kitab-kitab fiqh
bukan saja dipandang
sebagai produk keagamaan, tapi
sebagai buku agama itu sendiri. Akibatnya,selama
berabad-abad fiqh menduduki tempat yang amat terpandangsebagai bagian
dari agama itu sendiri, dan bukan bagian dari produk pemikiran keagamaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash shiddiqy, Teungkue Muhammad. 2001. Pengantar Hukum
Fiqh Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Muhammad, Ahsin.1993. Pengantar Ushul Fiqh. Jakarta:
Pustaka Hidayah.
Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-fiqh al-islami wa adillatuhu.
Damaskus: Dar al-Fikr.
Djazuli, H.A. 2006. Kaidah-Kaidah Fiqih, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis. Jakarta:
Kencana Prenada Group.
Ms, Burhani dan Hasbi Lawrens. 2003. Kamus ilmiah
populer. Jombang: Lintas Media
www.wikipidia.com
[1]
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000), 160.
[2]
Lihat keterangan panjang lebarnya di bab
pembahasan, bagian C.
[3]
Alquran, 11:91.
5
Ibid., 19.
6 Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shâdir, t.t.),
vol. 6, 108; Ahmad bin Muhammad al-Fayyûmî, al-Mishbah al-Munîr (Beirut:
al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.), 295.
7 Sulaimân
bin Muhammad al-Bujairimî, Hâsyiah al-Bujairimî ‘alâ al-Manhaj (Bulaq:
Mushthafâ al-Babî al-Halâbî, t.t.), vol. 2, 178.
8 Wuzârat
al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah
(Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t.) vol. 25, 295.
9
Djazuli, Fiqh Siyâsah, 28.
10 David Crystal, Penguin Encyclopedia (London:
Penguin Books, 2004), 1219.
11 Ibid., 28-9.
13‘Alî bin Muhammad al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah
wa al-Wilâyât al-Dîniyyah (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2006), 4;
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 13.
14 Ibid., 13.
15 Ibid.
20 Ibn ‘Âbidîn, Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr
(Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1987), vol. 3, 147.
21 H. A.
Djazuli, Fiqh Siyâsah (Jakarta: Kencana, 2007), 28.
22
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik (Bandung:
Eresco, 1971), 6
23 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh
al-Islâmî wa Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004), vol. 1, 33.
Blogger Comment
Facebook Comment